pencitraan Islam di mata global

SETTING GLOBAL PENCITRAAN ISLAM
syamsul amal

Beberapa Kritik terhadap Islam dan Reaksinya
Sebagai sebuah agama, Islam tidak lepas dari kecaman dan kritik. Salah seorang di antaranya adalah Salman Rusydi penulis buku The Satanic Verses, by: Salman Rusydi, novel yang pernah di-pleset-kan menjadi “Salmanic Verses by: Satan Rusydi” ditulis pada tahun 1988. Di dalam novel ini, Salman menokohkan Allah, Nabi Muhammad, istri, dan juga sahabat-sahabatnya. Salman mengambil Jahiliyyah; Arab, Makah, termasuk juga sekeliling Ka’bah, sebagai setting cerita. Substansi novel ini telah menimbulkan asumsi publik bahwa Salman sudah tidak Muslim lagi, murtad! Novel ini (dianggap) telah mendistorsi elemen-elemen penting Islam. Ia telah melekatkan karakter dan sifat-sifat ‘muhâl’ Rasul pada seorang Muhammad, melalui tokoh Mahound. Dengan demikian, al-Qur`an –yang diyakini umat Islam sebagai wahyu dari Allah—tak lagi sakral, karena penyampainya bukan seorang yang ma’sûm. Melalui penokohan seorang sahabat dari Turki, Qur`an tak lebih dari sebuah karya sastra Muhammad yang ditulis dan diterbitkan melalui tangan para sahabat. Selain itu, pelecehan terhadap istri-istri Nabi dan pelukisan Ka`bah sebagai tempat mesum juga merupakan suatu penghinaan besar terhadap Islam.
Pada waktu novel itu diterbitkan, tahun 1989, Imam Khomeini selaku pemimpin spiritual tertinggi Iran mengeluarkan fatwa bahwa Salman telah keluar dari Islam. Oleh karena itu, penulis serta penerbit novel tersebut wajib dibunuh. Dalam teks fatwa itu juga disebutkan: barang siapa yang terbunuh pada saat melakukan pembunuhan terhadap Salman dihukumi sebagai “syahid”. Saat itu Pemerintah Inggris mulai melindungi Salman. Paska dikeluarkannya fatwa itu, ada dua orang yang berusaha membunuh Salman. Namun keduanya dihukum mati setelah ditangkap oleh petugas keamanan Inggris dalam upaya pembunuhan terhadap penulis novel Ayat-Ayat Setan itu. Berdasarkan warta, dua orang tersebut, yang satu berkebangsaan Iran dan satunya lagi dari Lebanon. Kemudian karena masalah ini Iran sampai memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Inggris.
Setelah Salman, Theo van Gogh Submission, adalah film penghinaan terhadap Islam yang berdurasi 10 menit dalam bahasa Inggris yang disutradarai oleh Theo van Gogh dan penulis naskah adalah Ayaan Hirsi Ali (mantan Tweede Kamer anggota Partai Demokarsi dan Kebebasan Belanda). Film ini pertama kali diputar di Belanda pada 29 Agustus 2004 oleh The Dutch Public Broadcasting Network (VPRO).
Film ini bercerita tentang perlakuan buruk terhadap perempuan Islam. Digambarkan dengan seorang wanita yang menggunakan jubah hitam, wajah tertutup layaknya wanita arab tapi kain dibagaian tubuh transparan sehingga terlihat jelas tubuhnya yang telanjang dengan ayat Al-Quran di perut dan dadanya. Di gambarkan juga seorang wanita setengah telanjang tertelungkup dengan punggung terbuka, tubuh penuh memar dengan luka bekas cambukan di punggung dan tangan. Ayat-ayat yang ditampilkan semuanya ditulis diatas tubuh wanita, yakni surat An-Nisaa : 34, Al-Baqarah : 222 dan An-Nuur : 2.
Film ini menuai kritikan dari dalam dan luar negeri Belanda. Pada 2 Nopember 2004 Theo van Gogh tewas terbunuh di tempat umum oleh seorang muslim Belanda keturunan Maroko bernama Mohammed Bouyeri. Sebuah surat ditemukan ditubuhnya yang menghubungkan pembunuhan tersebut dengan Film kontroversial yang dibuatnya “Submission” dan pandangan-pandangan van Gogh yang menghina Islam. Setelah kematian Van Gogh ketegangan antara Islam dan Kristen memuncak terjadi di Amsterdam. Masjid dan sekolah-sekolah muslim menjadi sasaran bom dan aksi pembakaran. Selain Bouyeri ada sebelas muslim lain yang ditangkap dan dituduh berkonspirasi untuk membunuh Hirsi Ali.
Pada tanggal 16 Juni 2007, saat perayaan ulang tahun Elizabeth II, Salman dianugerahi sebuah gelar kebangsawanan oleh Ratu Inggris tersebut. Seorang wartawan dari CCN dan agen ganda KGB juga turut menghadiri penganugerahan Salman sebagai ‘Sang Ksatria.’ Apa yang dilakukan oleh Elizabeth II itu membuat para pemimpin Islam di wilayah Waziristan, Pakistan, mengumumkan sebuah sayembara; siapapun yang bisa membunuh Salman Rusydi akan diberi hadiah 11,5 juta dolar. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh Ratu Inggris di saat-saat seperti ini telah menyayat-nyayat hati umat Islam di seluruh dunia. Demikian, pada akhirnya penulis masyhur harus hidup di dunia yang keras, umpama melangkah di atas frase-frase tulisannya sendiri yang konon tak kalah tajam dengan sebilah belati: fitnah menikamnya justru dari arah depan.
Fenomena lain adalah Peristiwa runtuhnya WTC yaitu empat serangan terorisme yang terjadi pada tanggal 11 September 2001 atau biasanya dikenal dengan Peristiwa 9/11. Mereka mengambil empat pesawat dan menabrakkan ketiganya ke bangunan di Amerika Serikat. Sebenarnya targetnya ada empat bangunan, namun pada kasus terakhir, para teroris gagal. Sekitar 3.000 orang tewas dalam serangan terorisme ini.
Setahun sudah tragedi 11 September terjadi. Sejak itu Amerika memproklamirkan war againts terorist, Indonesia masuk dalam sasaran ini. Apakah yang populer dan bisa diinventarisir dalam sorotan dunia tentang isu Islam di Indonesia pasca tragedi 11 September? Amerika Serikat (AS) yang merasa sebagai korban dari serangkaian aksi terorisme, pada perkembangannya, mengambil prakarsa yang kontroversial dan pada taraf tertentu menyulitkan proses mutual-understanding yang sudah lama dibangun. Isu terorisme ini “menggeser” paradigma kebijakan luar negeri AS yang pada sisi tertentu merugikan kampanye global tentang demokrasi dan HAM.

Demokratisasi di negara-negara muslim seperti di Indonesia menjadi problematik dengan adanya perubahan kebijakan luar negeri AS itu. Jelas reaksi AS, terutama serangan kepada Afghanistan dan rencana membombardir Irak, akan mempersulit kaum muslim moderat.


Perkembangan Islam di dunia
New York, Dalam 30 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di seluruh dunia telah meningkat pesat. Data statistik yang dikeluarkan Pew Research Center, menunjukkan, pada 1973 penduduk Muslim dunia sekitar 500 juta jiwa. Namun, saat ini jumlahnya naik sekitar 300 persen menjadi 1,57 miliar jiwa. Tercatat, satu dari empat penduduk dunia beragama Islam.
Dalam studinya yang berjudul 'Memetakan Populasi Muslim Global: Sebuah Laporan Tentang Jumlah dan Distribusi Populasi Muslim Dunia', Pew Research Center ini mengindikasikan bahwa seperlima kaum Muslim (300 juta) tinggal di negara-negara non-Muslim. Populasi Muslim minoritas di sana sering kali cukup besar.

Hasil studi yang dirilis awal Oktober 2009 ini juga menemukan bahwa Eropa memiliki sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua tersebut. Sebagian besar terkonsentrasi di Eropa Tengah dan Timur. Rusia memiliki lebih dari 20 juta Muslim, dan terbesar di Eropa. Menurut studi tersebut, Jerman memiliki pemeluk Muslim sebanyak 4,5 juta, Prancis sebesar 3,5 juta jiwa, Inggris sekitar dua juta orang, dan Italia sebanyak 1,3 juta jiwa. Sisanya tersebar di beberapa negara Eropa lainnya seperti Portugal, Swedia, Belanda, dan Swiss.
Namun demikian, jumlah ini diperkirakan bertambah lagi. Sebab, sebuah hasil studi di Rusia menyebutkan, jumlah pemeluk Islam di negara Beruang Merah tersebut mencapai 25 juta jiwa, atau sekitar 18 persen dari total populasi yang mencapai 145 juta jiwa. Studi tersebut mengatakan bahwa hampir 4,6 juta Muslim berada di Benua Amerika.
Di negara super power, Amerika Serikat, agama Islam dipeluk oleh sekitar 2,5 juta orang. Bahkan, di lokasi sekitar reruntuhan World Trade Center (WTC) itu akan di bangun sebuah Masjid. Sementara itu, di Kanada jumlah pemeluk Islam mencapai 700 ribu orang.
Tak jauh berbeda dengan Argentina. Umat Islam di negara tersebut mencapai 800 ribu orang, dan merupakan pemeluk Islam terbesar di Amerika Selatan. Sementara itu, di Suriname, pemeluk Islam mencapai 16 persen dari total penduduknya, dan menjadi populasi Muslim terbesar di Benua Amerika. Data yang disampaikan oleh pihak Pew Research Center mengenai populasi Muslim di Barat, terutama di Eropa dan AS itu bertolak belakang dengan perhitungan yang biasanya dilaporkan oleh organisasi-organisasi Muslim di kawasan-kawasan tersebut.
Muslim di AS, misalnya, secara umum diyakini berjumlah lebih dari tujuh juta, sementara Prancis lebih dari enam juta. Peningkatan umat Islam yang demikian pesat itu, karena makin muncul kesadaran bagi warga Eropa dan Amerika untuk mempelajari Islam. Setelah serangan terhadap WTC pada 11 September 2001, ketertarikan secara alamiah, telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam.
“Alhamdulillah, kondisi umat Islam di AS terus bertambah banyak, baik sebelum maupun sesudah peristiwa 11 September 2001,” tutur Mohammad Kudaimi, anggota Nawawi Foundation, sebuah lembaga pendidikan yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat (AS). Menurut pria keturunan Suriah ini, dalam lima tahun terakhir ini, agama Islam menjadi agama yang paling cepat perkembangannya di bandingkan dengan agama lainnya.
Ia mengatakan, setiap harinya selalu ada warga negara non-Muslim AS yang memeluk Islam. Kondisi serupa juga terjadi di Benua Eropa dan kawasan Amerika lainnya. Menurut laporan Time, setelah peristiwa 11 September, agama Islam mendapatkan perhatian besar dari kalangan warga kulit putih Inggris yang berekonomi kuat dan berpendidikan.
Pangeran Charles, putra mahkota Inggris, mengungkapkan, prinsip-prinsip yang dianut dalam Islam akan mampu menyelamatkan dunia. “Tidak ada pemisah an antara agama dan lingkungan. Kerusakan manusia dan lingkungan akhir-akhir ini, karena melawan prinsip seperti yang diajarkan Islam,” ujar Charles sebagaimana dikutip Daily Mail, Kamis (10/6). Di Jerman, kendati masih muncul sentimen negatif dan kecurigaan terhadap Islam, namun jumlah pemeluk Islam justru makin meningkat. Mereka sangat terkesan dengan wajah Islam yang sesungguhnya, yakni damai, santun, dan penuh toleransi.

Islam dan Obama

Pidato Presiden Ameria Serikat Barack Obama di Universitas Cairo Mesir (4/6) menggetarkan. Obama menyebut tiga kali nama Indonesia untuk memperkuat latar belakangnya dan pengalamannya bahwa ia mengetahui Islam. Islam di Indonesia menjadi rujukan Obama sebagai Islam yang menjamin kemerdekaan beragama dan persamaan hak perempuan. Dan Obama mengucapkan “assalamu’alaikum” untuk memulai pidatonya. Obama juga mengutip dari Taurat, Injil dan al-Quran untuk mendukung pernyataan soal perdamaian dan kebhinnekaan. Misi utama dari pidato itu untuk memulihkan citra Amerika dalam Dunia Islam. Maklum sebelum ini hubungan Amerika dengan Dunia Islam sangat terpuruk di era kepemimpinan George W Bush.
Namun pemilihan Obama berpidato di Mesir—sehari sebelumnya mengunjungi Arab Saudi—yang berada kawasan Timur Tengah seolah-olah ingin menegaskan bahwa kawasan itu merupakan representasi dari Dunia Islam. Benar populasi umat Islam di dunia yang berjumlah 1.5 miliyar mayoritas memang berada di benua Asia (69 %). Namun hampir separohnya tidak berada di Timur Tengah, tetapi bemukim di Asia Selatan dan Asia Tenggara (44.4 %). Sedangkan populasi umat Islam di Timur Tengah plus kawasan Afrika Utara (Mesir sampai Maroko) totalnya “hanya” 29 persen.

Apabila kawasan tersebut dijadikan representatif Dunia Islam akan memperkuat pencitraan Islam penuh dengan konflik dan kekerasan. Misalnya kekerasan yang terjadi di Irak antara penganut Sunni dan Syiah; antara pengikut Hizbullah yang Syiah dengan Gelombang Masa Depan (al-Mustaqbal) pimpinan Saad al-Hariri yang Sunni di Libanon; antara Hamas dan Fatah di Palestina. Padahal pihak-pihak yang bertikai itu mengkleim menganut satu agama dan berasal dari satu puak. Penisbatan dunia Islam pada praktik politik umatnya yang tak sepi dari kekerasan akan melahirkan pencitraan bahwa Islam adalah agama penuh konflik. Demikian juga relasi antara Islam, demokrasi, dan kebebasan sipil amatlah buruk di negeri-negeri itu, dari negara yang berpegang teguh pada monarki-absolut (mayoritas berada di kawasan Teluk) hingga rejim otoriter-korup yang mengatasnamakan demokrasi (misalnya Mesir dan Suriah).

Dengan menisbatkan Dunia Islam hanya pada kawasan Timur Tengah secara tak langsung membenarkan tesis Samuel Huntington tentang “benturan antar-peradaban”. Karena selama ini tak jarang kebijakan Amerika bertubrukan dengan pihak-pihak di Timur Tengah. Untuk menghindar dari pemahaman yang sangat dangkal ini perlu adanya perubahan pandangan dengan tidak secara otomatis menunjuk kawasan Timur Tengah sebagai representasi dan pusat Dunia Islam.

Meski pidato Obama mengulas tujuh agenda yang berhubungan dengan Dunia Islam, namun yang terpenting adalah agenda konflik Arab-Israel, khususnya Palestina-Israel dan isu nuklir Iran. Agenda-agenda lain “bunga”nya saja. Kebijakan Obama di Timur Tengah akan kembali memprioritaskan konflik Israel-Palestina. Berbeda dari kebijakan pendahulunya George Bush yang lebih memilih Irak. Palestina memang menjadi isu terpelik di Dunia Islam, nampaknyangnya sering mengalahkan isu kemiskinan dan keterbelakangan—ini juga soal representasi: Palestina diyakini sebagai masalah utama Dunia Islam. Isu ini mudah dijadikan alat politik dan konflik, khususnya bagi pihak yang masih terperdaya oleh ilusi bahwa kemerdekaan di abad ke-21 ini bisa diraih dengan peperangan bukan diplomasi.

Arab Saudi dan Mesir adalah dua negara penting bagi Amerika, karena memiliki pengaruh yang kuat terhadap negara-negara jirannya. “Memegang” Saudi berarti “memegang” negara-negara Teluk lainnya yang kaya minyak. Arab Saudi juga salah satu negara Arab-Teluk yang menerima pangkalan meliter Amerika selain Qatar, Kuwait, Bahrain dan Oman. Sementara Mesir memiliki populasi penduduk terbesar di negara Arab dan menguasai kendali politik Liga Arab. Mesir juga terletak di posisi yang strategis, memiliki perbatasan dan hubungan langsung dengan pihak-pihak yang terjebak konflik: Israel verus Palestina, ataupun konflik internal Palestina: Hamas versus Fatah.

Sejauh pengamatan nampaknya dalam menyikapi konflik Arab-Israel, Obama telah menempuh jalur yang tepat. Pertama, Obama telah menekan Israel melalui perdana menterinya Benyamin Netanyahu yang mengunjunginya di Gedung Putih dua pekan lalu untuk menghentikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat. Obama juga mendesak agar pemerintahan Israel saat ini yang berasal dari koalisi Kubu Kanan yang anti-perdamaian untuk menerima opsi “dua negara” (Israel dan Palestina yang berdaulat). Artinya Israel harus mengakui kemerdekaan Palestina dan pembagian Jerusalem: Jerusalem Barat ibu kota Israel, dan Jerusalem Timur (al-Quds) ibu kota Palestina. Di media-media massa Israel dan Arab saat ini diberitakan bagaimana reaksi pemerintah Israel yang kalang-kabut menerima tekanan Obama ini. Harian Haaretz juga mengabarkan pada pekan lalu, utusan Israel berada di bawah tekanan George Mitchell utusan Obama untuk Timur Tengah dalam sebuah perundingan di London Inggris untuk menghentikan segera pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Dalam pidato tersebut Obama menekankan kembali dukungannya terhadap berdirinya negara Palestina.

Kedua, kunjungan Obama ke Mesir dan Arab Saudi merupakan bentuk dukungan penuh terhadap dua negara ini yang disebut sebagai poros kubu “moderat” di Timur Tengah. Selama ini dukungan Amerika yang membabi-buta terhadap Israel telah menyudutkan kubu yang pro-perundingan ini dan menguatkan popularitas kubu Iran (Suriah, Hizbullah dan Hamas). Kesewenang-wenangan Israel dibalas reaksi lebih keras dari lawan-lawannya. Akhirnya ikhtiar perdamaian pun terbelengkalai. Dan konflik itu seperti labirin tak berujung. Kubu “moderat” ini pula pihak yang paling terancam oleh ambisi nuklir Iran.

Ketiga, agenda tak langsung yang berkaitan dengan konflik di sana Obama menyebut agenda lain: demokratisasi, persamaan hak perempuan dan kebebasan beragama. Agenda yang sangat krusial di Timur Tengah hingga di negara-negara sekutu Amerika seperti Saudi dan Mesir. Tema-tema ini menjadi semacam sindiran Obama bagi mereka. Obama juga menyebut nama negara lain selain Indonesia seperti Pakistan dan Bangladesh untuk membuktikan bahwa umat Islam mengakui persamaan hak perempuan. Namun ketiga negara ini sebagaimana negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk muslim yang berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak pernah dianggap penting keislamannya di Timur Tengah. Islam di kawasan ini selalu dituding sebagai Islam yang tidak “murni” karena dianggap bercampur-baur dengan budaya lokal. Namun justeru di sinilah Islam hadir dengan wajah yang toleran dan simpatik. Ketika citra Islam diperburuk melalui kemarahan-kemarahan di Timur Tengah, Islam di kawasan Asia Selatan dan Tenggara menyuguhkan keramahan-keramahan Islam. “Islam Indonesia” adalah pencitraan positif bagi Dunia Islam.

Dalam menyikapi konflik di Timur Tengah, paling tidak bagi nampaknya Obama telah memulai sikap yang tepat: menekan kubu Kanan Israel yang anti-perdamaian untuk memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan negara Palestina. Obama juga mendukung pihak-pihak di kawasan Timur Tengah yang pro-perdamaian sekaligus menyindirnya. Dan yang lebih penting lagi, pidato dan kebijakan luar negeri Obama amatlah berbeda dari kebijakan pendahulunya. Melalui pidato itu, Obama telah memberikan harapan dan janji, namun yang paling diharap: janji-janji itu menjadi bukti.

Citra dan Pencitraan Islam
Pencitraan: berasal dari kata citra kata benda secara etimologi berarti rupa; gambar(an); secara terminologi gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi (negara, agama, budaya), atau produk. (Kamus Bahasa Indonesia).
Fenomena yang digambarkan di atas adalah fenomena pencitraan buruk terhadap Islam, meskipun secara langsung tidak karena sebagian kecil di orang Barat dan Amerika dapat memisahkan, teroris dan Islam.
Islam di mata Amerika
Setelah peristiwa 11 September 2001, ada banyak hal yang berubah, terutama disebabkan perubahan dalam kalkulasi pertahanan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (baca: AS). Misalnya, yang paling kelihatan, pertama, peristiwa itu membuka peluang di negara-negara besar seperti Cina, Rusia, AS, dan juga negara-negara Eropa, untuk lebih mempererat kerjasama mereka, terutama dalam bidang keamanan dan pertahanan. Kedua, menunjukkan bahwa dunia sekarang betul-betul borderless (tanpa batas). Sebuah kejadian di New York, kemudian dapat memunculkan dampak luar biasa dan dirasakan di mana-mana. Ketiga, penting pada level global, isu terorisme menjadi isu global satu-satunya (the only gobal issue) yang harus ditanggulangi secara bersama-sama oleh semua masyarakat internasional.
Bagi orang AS, tragedi 11 September adalah sesuatu yang mengagetkan, terutama kalau kita melihat the history of wars atau sejarah perang AS. Kita tahu, perang yang diikuti AS tidak pernah dilakukan di wilayah AS sendiri. itu pertama. Kedua, AS juga tidak pernah mengalami sebuah peristiwa sedahsyat 11 September itu. Dan itu kemudian —terutama dengan tumbangnya Uni Soviet— muncul perasaan bahwa AS tidak mungkin bisa diterobos oleh semua bentuk ancaman. Nah, tragedi itu kemudian menjadi semacam awake up call bagi mereka. Terjadi peristiwa tragis semacam itu lantas memunculkan semangat nasionalisme yang sangat tinggi. Kemudian juga memunculkan kemarahan luar biasa, yang dalam hal ini dilampiaskan kepada kelompok Osama bin Ladin dan Taliban.
Setelah itu— tentunya mereka akan mencari tahu tentang mengapa tragedi 11 September terjadi. Wacana atau perdebatan, baik di tingkat pemerintah dan masyarakat AS menghasilkan “fakta” bahwa yang mereka katakan sebagai pelaku itu adalah mereka yang memiliki latar belakang, ideologi dan agama Islam. Kemudian, tampak memang setelah kejadian itu Islam menjadi fokus perhatian yang sebelumnya tidak ada presedennya dalam wacana di AS.
Setelah peristiwa itu ada fenomena bagaimana propaganda terorisme yang digunakan AS menjadi kebijakan baru pengganti kebijakan lama memerangi komunisme. Ini bisa sja berbahaya bagi dunia Islam dan perkembangan demokrasi di negara-negara Muslim.
Kalau kita melihat bagaimana terorisme menjadi kebijakan yang diprioritaskan sejak peristiwa11 September. Nampaknya memang ada kebingungan yang luar biasa di publik maupun para pembuat kebijakan di AS, ketika hal itu terjadi. Sehingga respon-respon pada hari pertama kejadian tragedi 11 September memunculkan kesan yang sangat kuat bahwa respon yang harus diambil adalah dialamatkan kepada Islam. Kamudian setelah beberapa minggu, baru kemudian muncul kesadaran bahwa adalah hal yang sangat tidak pantas kalau AS melihat itu sebagai perang melawan Islam. Dan nampaknyaini sudah sering diklarifikasi.
Tapi, paling tidak, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan, terutama kalau kita kaitkan dengan konteks dunia Islam. Pertama, peristiwa dan sikap AS pasca-kejadian itu menimbulkan komplikasi yang sangat rumit dalam politik-dalam-negeri di banyak negara muslim.
Kedua, Kemudian isu-isu tentang hak dan posisi kelompok minoritas muslim di banyak negara kemudian menjadi terabaikan dan tersisihkan. Kita melihat beberapa rezim seakan menjadi pembonceng gratisan (free rider). Mereka menggunakan isu-isu terorisme ini untuk menekan persoalan-persoalan dan hak kaum minoritas atau marginal muslim di Xinchiang, Cina, Chechnya, dan bahkan di negeri kita sendiri, seperti kasus tudingan teroris kepada GAM di Aceh. Pemerintah kita berusaha menggunakan isu itu.
Ketiga, demokratisasi di negara-negara muslim seperti di Indonesia menjadi problematik dengan adanya perubahan kebijakan luar negeri AS itu. Jelas reaksi AS, terutama serangan kepada Afghanistan dan rencana membombardir Irak, akan mempersulit kaum muslim moderat.
Benarkah, AS tidak lagi menekankan isu-isu demokratisasi dan HAM sebagai alat kebijakan luar negerinya?, ini sangat krusial, karena seperti misalnya kita lihat di Indonesia sendiri, semua hubungan, baik antarnegara, antarmiliter, paramerternya sekarang menjadi isu terorisme itu. Meskipun misalnya ada komentar dari AS mengenai keprihatinan mereka seputar peradilan ad hoc masalah Timor Timur, sebenarnya hal itu retorika diplomatik saja yang tidak memiliki implikasi untuk mendorong demokratisasi Indonesia secara lebih kuat.



Upaya Pencitraan Islam
Meskipun tetap saja, pada akhirnya nampaknya proses demokratisasi itu akan sangat ditentukan juga oleh komitmen di dalam negeri dari kelompok-kelompok civil society yang ada. Dalam konteks itu, jangan juga kita terlalu berharap adanya bantuan yang berlebihan dari AS untuk melakukan demokratisasi pada semua level.
Masalah terorisme ini problematis, karena menggantikan isu demokrasi dan HAM. Tapi di sisi lain, kita perlu mengakui adanya kelompok-kelompok yang menggunakan cara teror untuk meluluskan kepentingan mereka. Ada cara yang tepat untuk menghadapi kelompok semacam ini. Harus dilakukan dulu pemilahan tegas antara terorisme dengan radikalisme. Kalau menghadapi terorisme, tidak ada cara lain, harus dihadapi dengan cara-cara penegakan hukum (law enforcement) yang sangat tegas. Bahkan pada titik tertentu bisa melibatkan militer dan kekuatan polisi. Terorisme harus dihadapi dengan cara dan sikap tegas, tapi penuh perhitungan.
Kalau radikalisme adalah isu yang berbeda, meskipun banyak yang khawatir bahwa radikalisme juga cenderung mengarah kepada pengunaan cara-cara kekerasan. Radikalisme boleh-boleh saja sepanjang tidak memakai kekerasan sebagai alat untuk menghalalkan tujuan.
Misalnya, diskursus mengenai Asia Tenggara sebagai The Second Front setelah Asia Selatan, itu mungkin menjadi salah satu persoalan di dalam konteks problematika mengenai soal terorisme dan radikalisme itu tadi. Kalau misalnya kita lihat, hampir semua tulisan atau pemberitaan mengenai Asia Tenggara sebagai The Second Front selalu dimulai dengan pernyataan bahwa Asia Tenggara adalah home bagi negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Kaitannya dengan radikalisme, banyak hal lain yang mestinya harus kita perhatikan. Misalnya melihat bagaimana radikalisme ini muncul. Kemudian, selama radikalisme hanya diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau pemikiran, nampaknya kita, terlalu jauh kalau dihadapi dengan cara-cara yang sama dengan cara-cara menghadapi terorisme. Di sini, nampaknya kita, proses dialog atau perdebatan yang terbuka mengenai interpretasi dari ideologi ataupun agama, merupakan kunci untuk menyelesaikan isu-isu seperti itu.
berkembangnya kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap sebagai kelompok yang radikal, yang pro dengan terorisme, dan menganggap Osama sebagai hero merupakan suatu produk yang tidak bisa dihindarkan dari demokrasi. Sebagian kecil perumus kebijakan AS yang mencoba mendudukkan persoalan secara proporsional dalam konteks itu. Hal ini menjadi persoalan serius justru ketika, misalnya, AS ingin menggalang semua kekuatan masyarakat internasional untuk mendukung kebijakan anti terorisme yang ia lakukan. Terjadi pencampuradukan yang, nampaknya kita, justru akan semakin mempersulit kelompok moderat di banyak negara-negara muslim. Dapat dilihat dalam retorika perumus kebijakan di AS belum sampai pada pesan bahwa sebenarnya AS sedang perang melawan terorisme, bukan melawan Islam
Tetapi problemnya kemudian bagaimana pemahaman itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan operasional. Misalnya dengan adanya kebijakan bahwa penduduk negara-negara muslim kalau ingin mendapatkan visa, harus membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain.
Kemudian ketika misalnya, dalam suasana perang melawan terorisme itu ada rencana untuk menghajar Irak dan lain-lain. Ini kemudian mempersulit pemahaman banyak kalangan terhadap posisi AS.
Dalam kaitannya dnegan Konflik Palestina-Israel juga menjadi catatan kelam politik standar ganda AS yang makin menstimulasi rasa tidak percaya sebagian kaum muslim. Kalau kita lihat dari perspektif konflik, konflik itu memang akan ada sampai hari kiamat, karena hal itu merupakan gejala sosial yang tidak hanya dalam konteks Arab-Israel, tapi juga hampir di semua level sosial. Nah, dalam konteks Arab-Israel, harus didorong upaya-upaya mencari penyelesaian ataupun peace process. Di sini kuncinya adalah bagaimana menghentikan kekerasan itu sendiri.
Isu tersebut menjadi salah satu sumber kemarahan orang Islam. Dan kemarahan ini menjadi besar ketika ada retorika tentang perang terhadap terorisme itu? Nampaknya itu benar. Adanya bias yang begitu tinggi dalam kebijakan luar negeri AS, terutama dalam menyikapi konflik Arab, khususnya Palestina dengan Israel. Itu menjadi sumber ketidakpuasan. Dan kalau kita lihat dari konteks keseluruhan, sebenarnya yang paling dijengkelkan orang, tidak hanya di dunia muslim, adalah memang politik luar negeri AS itu yang menjadi pemicu utama. Seperti ketika terjadi peristiwa 11 September, reaksi yang menyalahkan AS tidak hanya muncul di negara-negara muslim, tapi juga di Vietnam, Thailand, Jerman, bahkan tak sedikit warga AS yang meminta pemerintahnya introspeksi.
Mungkin kita harus mulai dengan pemahaman bahwa terorisme itu tidak ada kaitannya dengan agama. Dalam konteks itu, semua umat beragama harus memusuhi terorisme, siapa pun pelakunya, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun. Itu menjadi kunci yang harus menjadi pegangan kita. Jadi tidak spesifik. Terorisme juga tidak mengenal ras. Dalam wacana kontemporer, terorisme adalah isu kejahatan transnasional yang sekarang sangat mengemuka dan harus dimusuhi semua orang.
Bagaimana seharusnya negara-negara Barat, terutama AS, merumuskan kebijakannya di masa mendatang dalam hubungan dengan negara-negara muslim? Pertama, AS harus menghentikan proses perumusan kebijakan luar negerinya yang even revert. Selama ini kebijakan AS selalu didasarkan pada sebuah peristiwa tunggal saja. Ini yang harus dihentikan. Artinya, AS harus merumuskan kebijakannya terhadap dunia Islam dalam konteks yang komprehensif, lebih luas. Jadi, dulu misalnya ada ideologi komunisme, yang kemudian menjadi driver dari kebijakan AS. Sekarang mungkin terorisme.
Kedua, melihat persoalan dengan dunia Islam harus dengan beyond religion relation. Jadi lebih kepada, misalnya, sebagai sesama anggota masyarakat dunia internasional, atau pada isu-isu yang lebih produktif. Misalnya melihat pada dimensi Utara-Selatan, atau melihat aspek-aspek yang sejenis itu.
Ketiga, ignorance yang ada di publik maupun di kalangan policy makers di AS, tentang Islam dan dunia luar khususnya, harus segera ditanggulangi. Karena ignorance ini tidak hanya terhadap Islam, tapi juga terhadap mungkin negara bagian AS di sebelahnya saja mereka tidak paham.
Soal ketidaktahuan tentang dunia luar ini ada yang mengkritik bahwa bangsa AS ini adalah bangsa besar. Mereka tidak sempat melongok keluar, sehingga ketika melihat sesuatu yang “aneh” di luar, mereka bertanya-tanya?
Kemudian juga karena pengalaman sejarah AS yang tidak terekspose pada dunia luar. Tidak seperti negara-negara Barat lain yang memang pernah menjadi mantan kolonialis atau penjajah. Mereka menjadi lebih berinteraksi dengan banyak kultur, kepentingan, dan suku-suku bangsa yang lain. AS ‘kan tidak memiliki sejarah kolonialistik seperti itu.

Konklusi dan Langkah Konkrit
Ada beberapa kelemahan umat Islam secara global, diantaranya, citra buruk tidak bersatu atau mungkin tidak dapat bersatu. Dalam hal yang berkaitan dengan Palestina-Israel misalnya, tidak ada sikap, konsep, dan kesatuan yang diperlihatkan dengan jelas dan eksplisit bahwa hal itu dapat dilakukan untuk menyelesaikan dan menolong nasib bangsa Palestina. Kelemahan ini sebenarnya tidak hanya mencitrakan buruknya persatuan dan kepedulian umat Islam terhadap Palestina dan kemanusiaan, tetapi hal ini menunjukkan ketidak mampuan Negara-negara Islam dan negera yang mayoritas Islam yang hampir 60 negara dan 1,5 milyar lebih penduduk muslim di dunia, untuk memperlihatkan kekuatan politiknya, yang pasti merupakan suatu hal yang harus diperhitungkan Amerika dan Barat, sesudah runtuhnya soviet.
Islam sebagai sebuah ideologi sebenarnya dapat dan diharapkan dapat menjadi ideologi alternatif setelah gagalnya kapitalisme dan sosialisme dalam mengatasi persoalan manusia dan kemanusian, terutama dalam aspek ekonomi. Bagaimana mungkin karena umat Islam masih disibukkan dengan pekerjaan rumah pencitraan buruknya. Umat Islam nampaknya lebih sibuk mengurus kepentingan individu dan kepentingan kelompoknya ketimbang memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti nasib masyarakat Palestina yang seperti lahir untuk bertikai, tertindas, dan teraniaya.
Belum lagi persoalan di dalam negeri masing-masing, seperti sosial-politik, sosial-ekonomi, budaya, dan agama, merupakan hal yang selalu menyita perhatian umat Islam, untuk kemudian melihat hal yang lebih besar.
Untuk itu, makalah ini mencoba mengemukakan beberapa hal yang penting dipahami dalam kaitannya dengan penyelamatan dan pencitraan Islam. Pertama, umat Islam seharusnya memahami historisitas dam eksistensi Islam di antara agama-agama besar dalam sejarah. Bahwa agama-agama yang ada terutama nasrani, dan yahudi, selalu menganggap Islam adalah hambatan bagi mereka secara ideologi. Memahami betul bahwa pluralitas pemahaman keagamaan seperti radikalisme, fundamentalisme, adalah sebuah keniscayaan, bukankah akan selalu ada liberalisme sebagai antitesamya. Sehinggga sebagai umat beragama kita juga memiliki kesadaran akan implikasi negatif akan selalu ada baik inter maupun antar agama. Dengan kesadaran itu akan menimbulkan kemampuan mengelola kritik, kecaman, bahkan konflik bahkan itu justru menjadikan kita memiliki kemampuan management kritik dan managemen konflik yang baik.

Kedua, ummat islam mestinya memahami bagaimana pentingnya pencitraan umat islam di mata dunia, sekaligus memahami bagaimana buruknya nasib umat Islam bila pencitraan buruk terhadap Islam tidak dikelola dengan baik. Selain itu tidak terlalu bersikap reaktif terhadap kritikan yang berakibat dekonstruktif terhadap pencitraan.

Ketiga, Secara Epistemologi, nampaknya paradigma pluralisme tidak cukup relevan untuk digunakan dalam melihat eksistensi agama-agama yang selalu bertikai dan konflik. Epistemoligi relativisme menganggap tidak ada seorangpun, atau sekelompok atau agama apapun yang memegang otoritas kebenaran mutlak. Karena keberagamaan seseorang adalah produk dari interpretasi dari kebenaran, yang nota bene tidak ada yang bisa mengklaim bahwa produk interpretasinya yang paling benar, melainkan relatif. Paradigma ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran akan relativitas kebenaran agama, yang pada gilirannya akan mereduksi radikalisme dalam agama.
Keempat, secara Aksiologi isue-isue global yang menyudutkan Islam harusnya menjadi perhatian dan pembelajaran bagai kita, untuk kemudian melakukan rasionalisai terhadap tudingan itu, seperti tudingan kaum feminisme bahwa islam salah satu agama yang bukan hanya pemelukanya bahkan kitab sucinya bias gender. Sebagai seorang muslim, selain kemestian untuk menjawab wacana itu dengan retorika, seharusnya kita dapat menunjukkan secara sikap dan perilaku bahwa tudingan itu keliru dengan selalu bersikap adil terhadap dan tidak menomor duakan perempuan dalam berbagai level sosial.
Kelima, Islam seharusnya menjadi solusi spiritualitas dari segala keresahan, kegelisahan, krisis identitas, krisis kemanusiaan kita, sebagai seorang anggota masyarakat bangsa yang selalu menggaungkan masyarakat madani. Sebuah masyarakat yang baik akan terbentuk dari individu yang baik. Islam tidak cukup menjadi wacana dan retorika, tetapi ia harusnya menjadi nilai-nilai yang hidup dalam perilaku keseharian kita sebagai manusia. Wallahu ‘alam bi al-shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini