Postingan

Menampilkan postingan dari 2009
UPAYA TEOLOGIS DALAM PENYELESAIAN KONFLIK Lepas dari usaha-usaha teologis untuk membangun hubungan Kristen-Islam yang lebih baik, dari sudut sosialnya perlu dikembangkan bersama paham pluralisme. Dalam mengembangkan ini, kita mengenal dua adagium yang membenarkan usaha membangun hubungan antar-agama, yaitu, pertama, menuntut pemahaman yang benar mengenai keberadaan agama lain, dan kedua, komitmen kepada iman sendiri. Perpaduan kedua hal ini menjadikan kita seorang beragama yang terbuka dan memang seperti adagium yang ketiga, beragama secara sosial, berarti antar-agama. Maka, ketiga adagium ini menjadi dasar untuk usaha pluralisme. Nurcholish Madjid pernah mengemukakan, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai "kebaikan negatif", hanya ditilik dari kegunaann
SEGREGASI , SEBUAH SOLUSI ATAU ANCAMAN A. Potret Kecil Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama Segregasi sosial berdasarkan garis agama antara Kristen dan Muslim, menjadi fenomena menarik untuk diamati pasca konflik. Kondisi segregasi masyarakat di Maluku berdasarkan garis agama sesungguhnya bukan fenomena yang baru. Pemerintah colonial memberikan kontribusi cukup signifikan untuk melahirkan kondisi segregasi agama , untuk mempermudah control mereka terhadap masyarakat jajahan. Sejak dahulu dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasi wilayah geografis desa-desa Muslim maupun Kristen di Maluku. Dalam perkembangan kemudian kondisi segregasi tersebut cenderung mencair, terutama pada masyarakat di pusat-pusat wilayah pemerintahan dan ekonomi. Proses de- segregasi social kemudian hancur total bersamaan dengan konflik social Maluku yang terpicu pada sumbu agama , antara Muslim dan Kristen. Pendataan terakhir yang kami lakukan memperlihatkan sebanyak 1.050.764 / 88% orang d