SEGREGASI, SEBUAH SOLUSI ATAU ANCAMAN


A. Potret Kecil Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama


Segregasi sosial berdasarkan garis agama antara Kristen dan Muslim, menjadi fenomena menarik untuk diamati pasca konflik. Kondisi segregasi masyarakat di Maluku berdasarkan garis agama sesungguhnya bukan fenomena yang baru. Pemerintah colonial memberikan kontribusi cukup signifikan untuk melahirkan kondisi segregasi agama, untuk mempermudah control mereka terhadap masyarakat jajahan. Sejak dahulu dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasi wilayah geografis desa-desa Muslim maupun Kristen di Maluku. Dalam perkembangan kemudian kondisi segregasi tersebut cenderung mencair, terutama pada masyarakat di pusat-pusat wilayah pemerintahan dan ekonomi.
Proses de-segregasi social kemudian hancur total bersamaan dengan konflik social Maluku yang terpicu pada sumbu agama, antara Muslim dan Kristen. Pendataan terakhir yang kami lakukan memperlihatkan sebanyak 1.050.764 / 88% orang dari total 1.200.000 orang penduduk Maluku yang hidup tersegregasi berdasarkan perbedaan agama. Khususnya untuk Kota Ambon pasca konflik dengan luas sebesar 377 km2, dan jumlah penduduk sebanyak 206.210 jiwa, serta tingkat kepadatan 574 org/km2, komunitas Muslim dan Kristen hidup secara terpisah. Sampai saat ini hanya 2 wilayah yang masih tersisa sebagai tempat dimana Muslim dan Kristen tinggal bersama. Satunya di desa Wayame, dan lainnya di wilayah Rindam Kodam XVI Pattimura di
Pada kenyataannya segregasi social tidak saja merambah wilayah fisik-geografis, tetapi juga terlestarikan melalui kodefikasi personal dalam ruang public. Situasi ini nampak lewat bahasa/istilah yang digunakan. Pasca konflik tercipta istilah-istilah baru yang menampilkan bentuk pengkodean secara tajam yang bersifat personal (atau menyangkut kolektivitas ekslusif). Pada masa sebelum konflik, terdapat penyebutan yang seragam ketika digunakan dalam dunia publik. Dalam kehidupan publik, penggunaan istilah yang umum dipakai adalah Bung (untuk laki-laki dewasa) dan Usi (untuk wanita dewasa). Ia berkembang menjadi sebuah ciri "kultural" masyarakat Maluku (terutama Ambon dan Lease). Ia telah lama menjadi bagian dari kesadaran orang Maluku tentang ruang publiknya. Namun kondisi tersebut berubah ketika konflik Maluku berakhir. Orang mulai menggunakan istilah-istilah teknis yang mereferensi ke primordialitas kampung atau agama. Dalam perkampungan atau komunitas Islam orang sering menggunakan istilah Ente (orang kedua tunggal) dan Ana' (orang pertama tunggal), juga Harrim atau Caca (untuk orang perempuan). Sebaliknya dalam komunitas Kristen tidak terjadi perubahan tersebut. Orang tetap menggunakan sebutan Usi (perempuan dewasa) dan Bung (laki-laki dewasa) seperti situasi sebelum konflik.

Segregasi sebuah Solusi!?
1. Faktor Sejarah
Konfigurasi sosial masyarakat di kepulauan Maluku yang sejak dahulu terdiri dari berbagai macam suku, yang sebagaimana di daerah-daerah lain, terbentuk atas dasar-dasar ikatan hubungan keluarga yang mendiami suatu teritori tertentu. Masuknya kolonial Portugis dan Belanda membawa sejumlah implikasi pada pembentukan struktur sosial masyarakat diberdasarkan agama. Pada masa kolonialisme Portugis terjadi persebaran kelompok masyarakat berbasis kultur agamaagama Kristen Protestan. Akibat dari masa kolonialisme yang cukup lama, pembagian masyarakat berdasarkanagama semakin menguat. Persebaran kedua agama ini juga menimbulkan struktur sosial yang tumpang tindih antara identitas kesukuan, teritori dan agama. Selanjutnya dalam perjalanannya interaksi sosial masyarakat di kepulauan Maluku menimbulkan berbagai ketegangan akibat perbedaan identitas sosial masyarakat. Selain terjadinya segregasi komunitas klan dan adat berdasar teritori tertentu, juga terjadi segregasi teritori berdasarkan suku dan agama. Akibatnya terbentuk pola persebaran permukiman penduduk berdasarkan agama. Perkampungan/negeri di kepulauan Maluku terutama di Maluku bagian tengah (provinsi Maluku) terbagi atas kampung atau negeri Salam (desa/negeri Islam) dan kampung atau negeri Sarani (desa/negeri Kristen). Disisi lain, kebijakan administrasi pemerintah kolonial Belanda yang diberlakukan terhadap masyarakat Maluku bersifat diskriminatif. Kelompok masyarakat yang beragama Kristen cenderung lebih diakomodasi di birokrasi pemerintahan, pendidikan, militer dan sektor ekonomi jasa, Sebaliknya, penduduk beragama Islam tidak terakomodasikan sehingga umumnya berkecimpung disektor pertanian dan perdagangan bersama-sama dengan pendatang Buton dan Bugis. Pembagian kerja berdasar agama dan etnis akibat kebijakan kolonial ini menambah ketegangan hubungan kelompok-kelompok masyarakat di Maluku.
Selanjutnya, pada era pasca proklamasi kemerdekaan berkembang aspirasi untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bentuk gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Menghadapi situasi ini, masyarakat Maluku terbagi, antara kelompok masyarakat yang berpihak pada pemerintah Indonesia (republiken) dan kelompok masyarakat yang ingin merdeka dan menginduk kepada kerajaan Belanda (royalis). Dalam konteks ini hubungan kedua komunitas yang sejak semula tegang, bertambah tegang karena kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian besar para pemimpin RMS berasal dari komunitas Kristen dan korban dari pergolakan tersebut pada kenyataannya kebanyakan menimpa komunitas Islam, sekalipun diantara para pendukung RMS ada juga yang beragama Islam. Konteks sejarah yang diuraikan diatas ikut memberi andil dalam membentuk kontruksi sosial dan ketegangan konfliktual diantara komunitas-komunitas masyarakat di Maluku.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa Segregasi pemukiman berdasarkan agama diAmbon, atau Maluku pada umumnya, merupakan pola pemukiman penduduk yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Portugis menguasai kepulauan Maluku, dikotomi agama belum mengkristal seperti pada pemerintahan kolonial Belanda, mereka tidak hanya mengeruk hasil bumi masyarakat Maluku saja, melainkan meraka juga membawa missi kristenisasi. Missi mereka di tanah Maluku dapat dikatakan cukup berhasil, Itu ditandai dengan banyaknya jumlah masyarakat yang memeluk agama Kristen hingga saat ini. Meski masyarakat Maluku pada masa itu telah memeluk agama nenek moyang mereka, di

Kalaupun harus menghadapi kesulitan, setelah ada nya pemisahan, konsentrasi rakyat yg bersangkutan bisa diarahkan pada satu jurus. Misalkan dalam membenahi urusan ekonomi. Adaagama diantara mereka sendiri.
Contoh negara tersebut misalkan Thailand dan Korea Selatan. Pernah mereka mendapat krisis ekonomi, tetapi rakyatnya mempunyai kekompakkan bersama untuk bangun kembali. Adadi miliki masyarakat korea dan Thailand.
Penduduk Pulau Jawa dapat juga dijadikan sebagai panutan. Jawa dipenuhi oleh beragam penduduk dan beragam agama, karena keragaman ini justru orang tidak akan merasa super power terhadap yang lainnya dan justru karena tidak ada keseimbangan inilah yang menyelamatkan Jawa dari chaos yang terjadi di Ambon.
Sebalik nya karena ada keragaman (multiple) agama di pulau Jawa, korban menurutkan posisi berlipat. Di Jawa katakanlah ada 4 agama. Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Yang menjadi sasaran mayoritas (Islam) untuk sementara ini golongan Kristen. Islam dan Kristen, sama-sama mempunyai sifat imperialis. Jadi sasaran mayoritas jelas disini golongan kedua yaitu Kristen. Sekarang kalau kita bertanya kenapa sasaran ditujukkan kepada Kristen, ya karena dia mempunyai sifat sebagai saingan yang terberat (lihat dari segi imperialis). Sedangkan golongan Budha dan Hindu, belum terhitung sebagai saingan secara langsung. Lihat juga Amerika Serikat, penduduknya beragam persis di Jawa, buktinya akur-akur saja. Selain itu juga karena berpegang pada pemisahan antara agama dan pemerintah, jadi salah satu agama tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah, baik federal, state maupun regional. Walaupun kristen (protestan)
merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Paman Sam.
IMHO, perbandingan keadaan di Indonesia dan USA kurang sepadan. Sebuah negara menjadi sekular tidak akan semudah itu untuk dibentuk. Setiap negara sekular kebanyakan bersandar pada masyarakat yang pendidikan nya sudah merata dan maju/tinggi. Masing-masing mengerti, agama dan kenegaraan tidak boleh dicampur aduk. Ini juga setelah mereka melihat dan mempelajari sejarah, supaya jangan terulang kembali.
Seharusnya di Indonesia demikian pula, menganut ajaran separation of Church and State, yang dicetuskan oleh George Washington. Padahal Washington adalah seorang Kristen yang taat tapi tidak ingin mencapur adukan agama dan pemerintah karena kekawatirannya bahwa salah satu agama akan mencampuri urusan pemerintah dan malah menjadi alat penyelenggara negara sehingga tidak akan menjamin kebebasan beragama bagi rakyatnya (agama tertentu menjadi superior).
Selain itu, di pilah-pilah seperti yang anda sebutkan, orang-orang seperti kita (tidak mempunyai agama) tidak akan mempunyai tempat di RI.
Tidak mengetahui bagaimana anda, tapi yang jelas bagi saya tidak akan bisa lagi hidup diantara mereka seperti tempo doeloe. Tidak akan mengerti lagi apabila kehidupan pribadi sudah didikte dengan berupa khotbah baik hari Jumat maupun hari Minggu. "La vie ne vaut plus la peine d'etre vecue", tulis Albert Camus.
Pemilahan seperti gagasan anda hanya akan menjadikan manusia Indonesia sebagai subjek diskriminasi berdasarkan agama (memperparah konndisi RI). Hal ini pernah terjadi di abad Xiv di Eropa (Ingrris terutama), oleh karena itu lahirlah USA (dan Thanksgiving). Orang yang tidak beragama Kristen Anglican berbondong-bondong ke New world (America) yang dengan lapang dada mengayomi semua umat beragama.
Masing-masing merdeka untuk memilih hidup yang lebih baik. Tidak akan ada yang menghalangi golongan Kristen hijrah ke pulau Kalimantan. Mereka pergi meninggalkan benua Eropa dan ternyata menghasilkan yang tidak jelek sema sekali seperti Amerika sekarang. Sebalik nya untuk Kristen dipulau Jawa akan semakin rawan, karena mereka akan kena getah sekali lagi setelah ada kejadian dipulau lain, misalkan Ambon. Padahal mereka yang di pulau Jawa sama sekali tidak ada sangkut paut nya.
Situasi segregasi social pasca konflik terbentuk berdasarkan garis perbedaan agama yang cukup kental. Tercatat kurang lebih 88% dari wilayah geografis Maluku tersegregasi berdasarkan garis agama pasca konflik. Segregasi sendiri bukan merupakan fenomena baru di Maluku, mengingat kondisi ini telah dibangun sejak masa colonial sebagai strategi control terhadap daerah jajahan. Konflik yang ditarik pada sumbu agama, dengan sendirinya menegaskan dan memperluas wilayah segregasi yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis demikian menjadi arena yang cukup seksi, bila kapan saja konflik mau dimainkan di wilayah agama. Penebalan kondisi segregasi dimungkinkan terjadi karena kecederungan mekanisme resolusi konflik selama ini baru menyentuh pembentukan perspektif bersama, dan belum berhasil mensintesiskan proses reintegrasi social pada pemenuhan kebutuhan social dasar di level public. Khususnya pada wilayah-wilayah perbatasan antara komunitas yang bertikai selama ini.
2. Faktor Kultural
Segregasi yang terjadi di kota Ambon merupakan bawaan kultur masyarakat Maluku secara umum. Segregasi kultur itu dapat diidentifikasi melalui simbol-simbol budaya seperti; Segregasidi wilayah Leihitu, kelompok Kristen tinggal di wilayah Leitimor. Sistem negeri dan nama keluarga. Di Ambon, nama keluarga bisa sekaligus menunjukkan asal negerinya. Lebih dari itu, asal-usul negeri juga bisa mengindentifikasi agama apa yang dianutnya.
Perbedaan posisi pastor dan imam. Meskipun raja merupakan pemimpin lokal, tapi dalam masyarakat Kristen Ambon posisi pastor lebih kuat daripada raja. Sebaliknya, dalam masyarakat Muslim, seorang raja sekaligus merupakan seorang imam.
Perubahan sosial di Ambon antara lain terjadi akibat mulai makin meningkatnya jumlah imigran Muslim di kota tersebut sejak tahun 1970an.
Kalau pada masa sebelum konflik warga Muslim dan Kristen bisa hidup rukun bersama, ketegangan di antara dua kelompok tersebut mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1980an, ketika identitas keagamaan mulai menguat. Rivalitas Muslim dan Kristen tidak bisa dielakkan akibat perubahan sosial semacam ini. Kondisi ini terus memburuk ketika pada masing-masing kelompok tersebut berkembang sejenis psikologi massa yang menempatkan kelompok lain sebagai musuh. Pada kelompok Kristen berkembang pemaknaan diri bahwa mereka merupakan korban, tapi di sisi lain juga mereka merasa bangga dan mengklaim sebagai komunitas Kristen pertama di Indonesia sambil sekaligus merasa terancam oleh proses Islamisasi di Indonesia. Sebaliknya, pada kelompok Muslim juga berkembang sikap psikologis yang menempatkan kelompoknya sebagai korban, melihat kondisi di Ambon sebagai ketidakadilan bagi mereka, dan merasa terancam oleh proses Kristenisasi di Maluku. Pada yang sama mereka juga mengembangkan sikap bangganya sebagai komunitas Muslim yang memiliki peran sejarah melawan gerakan separatis Republik Maluku Selatan. Mekanisme psikologis ini disebut Akiko sebagai "framing", atau sebut saja proses identifikasi diri melalui proses penemuan "other".

Pada level yang lain, demarkasi simbolik tampak jelas dalam atribut-atribut yang dipakai oleh dua komunitas ini: kelompok Kristen mengenakan ikat kepala merah, sedangkan kelompok Islam memilih ikat kepala warna putih; di wilayah Kristen banyak dipasang gambar-gambar Yesus dan salib berukuran besar, sedangkan di wilayah Muslim banyak dipakai kata-kata berbahasa Arab dan penggunaan busana yang dianggap mencerminkan identitas Islam.
Pertanyaan tentang bagaimana konflik bisa melibatkan banyak orang dijelaskan Akiko melalui analisanya tentang struktur mobilisasi massa di Ambon. Menurutnya, mobilisasi massa pada kelompok Kristen didasarkan pada struktur gereja, sehingga cenderung lebih terorganisir dengan baik dan mudah dikendalikan oleh pemimpinnya. Kelompok ini memiliki jaringan cukup kuat baik pada level nasional maupun internasional. Salah satunya adalah komunitas Kristen Maluku di Belanda. Di lain pihak, struktur mobilisasi massa pada kelompok Islam lebih didasarkan pada struktur jaringan negeri. Tidaklah mengherankan jika mereka cenderung tidak terorganisir rapih, dan meliputi banyak sekali kelompok-kelompok kecil informal. Akibatnya, berbeda dengan massa Kristen, massa Muslim cenderung sulit dikendalikan karena tidak ada satu kepemimpinan yang terpusat. Hanya solidaritas dan komitmen Islam yang menyatukan mereka. Kelompok Muslim juga didukung oleh jaringan nasional (Laskar Jihad) dan internasional. Salah satunya adalah komunitas Muslim Ambon di Belanda.

Tidak terelakan bahwa diskusi kali ini juga sedikit banyak bersifat restropektif terhadap beberapa kejadian konflik yang sudah terjadi beberapa tahun silam. Salah satu konklusi yang disampaikan Akiko adalah bahwa sampai saat ini, meskipun konflik besar tidak lagi terjadi, wilayah Ambon dan sekitarnya tetap berada dalam kondisi rawan konflik.

3. Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Kota Ambon.
Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun, terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu, proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19, dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang agamasegregasi teritori di pedesaan, walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak Negeri - Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di Kota Ambonagama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik.
Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan, dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan, tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara, mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil.
Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya potensi konflik antar kelompok masyarakat.
Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta, sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada "barier" , yaitu kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada instansi birokrasi.
Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini, mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan konfigurasi sosial masyarakat di kepulauan Maluku yang sejak dahulu terdiri dari berbagai macam suku, yang sebagaimana di daerah-daerah lain, terbentuk atas dasar-dasar ikatan hubungan keluarga yang mendiami suatu teritori tertentu. Masuknya kolonial Portugis dan
Belanda membawa sejumlah implikasi pada pembentukan struktur sosial masyarakat diberdasarkan agama. Pada masa kolonialisme Portugis terjadi persebaran kelompok masyarakat berbasis kultur agama Kristen Katolik. Selanjutnya, pada masa kolonial Belanda terjadi persebaran agamaberdasarkan agama semakin menguat. Persebaran kedua agama ini juga menimbulkan struktur sosial yang tumpang tindih antara identitas kesukuan, teritori dan agama. Selanjutnya dalam perjalanannya interaksi sosial masyarakat di kepulauan Maluku menimbul-kan berbagai ketegangan akibat perbedaan identitas sosial masyarakat.
Selain terjadinya segregasi komunitas klan dan adat berdasar teritori tertentu, juga terjadi segregasi teritori berdasarkan suku dan agama. Akibatnya terbentuk pola persebaran permukiman penduduk berdasarkan agama. Perkampungan /negeri di kepulauan Maluku terutama di Maluku bagian tengah (provinsi Maluku) terbagi atas kampung atau negeri Salam (desa/negeri Islam) dan kampung atau negeri Sarani (desa/negeri Kristen).
Disisi lain, kebijakan administrasi pemerintah kolonial Belanda yang diberlakukan terhadap masyarakat Maluku bersifat diskriminatif. Kelompok masyarakat yang beragama Kristen cenderung lebih diakomodasi di birokrasi pemerintahan, pendidikan, militer dan sektor ekonomi jasa, Sebaliknya, penduduk beragama Islam tidak terakomodasikan sehingga umumnya berkecimpung disektor pertanian dan perdagangan bersama-sama dengan pendatang Buton dan Bugis. Pembagian kerja berdasar agama dan etnis akibat kebijakan kolonial ini menambah ketegangan hubungan kelompok-kelompok masyarakat di Maluku.
Selanjutnya, pada era pasca proklamasi kemerdekaan berkembang aspirasi untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bentuk gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Menghadapi situasi ini, masyarakat Maluku terbagi, antara kelompok masyarakat yang berpihak pada pemerintah Indonesia (republiken) dan kelompok masyarakat yang ingin merdeka dan menginduk kepada kerajaan Belanda (royalis). Dalam konteks ini hubungan kedua komunitas yang sejak semula tegang, bertambah tegang karena kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian besar para pemimpin RMS berasal dari komunitas Kristen dan korban dari pergolakan tersebut pada kenyataannya kebanyakan menimpa komunitas Islam, sekalipun diantara para pendukung RMS ada juga yang beragama Islam.
Konteks sejarah yang diuraikan diatas ikut memberi andil dalam membentuk kontruksi sosial dan ketegangan konfliktual diantara komunitas-komunitas masyarakat di Maluku.

Implikasi lain dari Segregasi
Salah satu implikasi dari segregasi pemukiman berdasarkan agama adalah , konsentrasi rakyat yg bersangkutan bisa diarahkan pada satu jurus. Misalkan dalam membenahi urusan ekonomi. Ada beberapa negara lain yang rakyat nya tidak terganggu oleh konflik agama diantara mereka sendiri. Contoh negara tersebut misalkan Thailand dan Korea Selatan. Pernah mereka mendapat krisis ekonomi, tapi toh rakyat nya mempunyai kekompakkan bersama untuk bangun kembali. Ada sejenis kesadaran nasional yang kita tidak punyai. Boleh lihat di Kabinet Gus Dur dalam rangkulan pada semua pihak partai sebagai contoh yang paling saklek. Masing-masing main sikut, sedangkan kepentingan nasional terbengkalai.
Jawa bisa dijadikan contoh kasus dan sebagai panutannya. Jawa dipenuhi oleh beragam penduduk dan beragam agama, karena keragaman ini justru orang tidak akan merasa super power terhadap yang lainnya dan justru karena tidak ada keseimbangan inilah yang menyelamatkan Jawa dari chaos yang terjadi di Ambon.
Sebalik nya karena ada keragaman (multiple) agama pulau Jawa, korban menurutkan posisi berlipat. Di Jawa katakanlah ada 4 agama. Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Yang menjadi sasaran mayoritas (Islam) untuk sementara ini golongan Kristen. Islam dan Kristen, sama-sama mempunyai sifat imperialis. Jadi sasaran mayoritas jelas disini golongan kedua yaitu Kristen. Sekarang kalau kita bertanya kenapa sasaran ditujukkan kepada Kristen, ya karena diamempunyai sifat sebagai saingan yang terberat (lihat dari segi imperialis). Sedangkan golongan Budha dan Hindu, belum terhitung sebagai saingan secara langsung. Lihat juga Amerika Serikat, penduduknya beragam persis di Jawa, buktinya akur-akur saja. Selain itu juga karena berpegang pada pemisahan antara agamadan pemerintah, jadi salah satu agama tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah, baik federal, state maupun regional. Walaupun kristen (protestan) merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Paman Sam. IMHO, perbandingan keadaan di Indonesia dan USA kurang sepadan. Sebuah negara menjadi sekular tidak akan semudah itu untuk dibentuk. Setiap negara sekular kebanyakan bersandar pada masyarakat yang pendidikan nya sudah merata dan maju/tinggi. Masing-masing mengerti, agama dan kenegaraan tidak boleh dicampur aduk. Ini juga setelah mereka melihat dan mempelajari sejarah, supaya jangan terulang kembali. Harusnya di Indonesia demikian pula, menganut ajaran separation of Church and State, yang dicetuskan oleh George Washington. Padahal Washington adalah seorang Kristen yang taat tapi tidak ingin mencapur adukan agamaagama akan mencampuri urusan pemerintah dan malah menjadi alat penyelenggara negara sehingga tidak akan menjamin kebebasan beragama bagi rakyatnya (agama tertentu menjadi superior). Selain itu, di pilah-pilah seperti yang anda sebutkan, orang-orang seperti kita (nggak punya agama) tidak akan mempunyai tempat di RI. Tidak mengetahui bagaimana anda, tapi yang jelas bagi saya tidak akan bisa lagi hidup diantara mereka seperti tempo doeloe. Tidak akan mengerti lagi apabila kehidupan pribadi sudah didikte dengan berupa khotbah baik hari Jumat maupun hari Minggu. "La vie ne vaut plus la peine d'etre vecue", tulis Albert Camus. Pemilahan seperti gagasan anda hanya akan menjadikan manusia Indonesia sebagai subjek diskriminasi berdasarkan agamadi abad Xiv di Eropa (Ingrris terutama), oleh karena itu lahirlah USA (dan Thanksgiving). Orang yang tidak beragama Kristen Anglican berbondong-bondong ke New world (America) yang dengan lapang dada mengayomi semua umat beragama. Masing-masing merdeka kok untuk memilih hidup yang lebih baik. Tidak akan ada yang menghalangi golongan Kristen hijrah ke pulau Kalimantan. Mereka pergi meninggalkan benua Eropa dan ternyata menghasilkan yang tidak jelek sema sekali seperti Amerika sekarang. Sebalik nya untuk Kristen dipulau Jawa akan semakin rawan, karena mereka akan kena getah sekali lagi setelah ada kejadian dipulau lain, misalkan Ambon. Padahal mereka yang di pulau Jawa sama sekali tidak ada sangkut paut nya. saya tidak merasa sendiri karena tanpa agama, justru karena lepas dari lingkaran setan ini kebahagian dan kedamaian selalu hidup dalam diri saya.

Bertepatan dengan peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April 2004, rangkaian konflik komunal kembali membakar kota Ambon. Pecahnya konflik baru ini mengakhiri suasana damai yang telah terbangun sejak penghujung 2002. Bahkan, sebenarnya, sejak akhir 2001 hampir tak ada lagi konflik besar antara kedua komunitas. Seperti dicatat oleh laporan International Crisis Group (2002), sejak akhir 2001 pola konflik di Maluku bersalin rupa: dari konflik dua komunitas menjadi rangkaian bentuk teror, semisal peledakan bom dan ranjau, penyerangan mendadak terhadap suatu komunitas, serta penembakan misterius oleh penembak gelap.
Namun, peristiwa kerusuhan 25 April 2004 menunjukkan bahwa tragedi kekerasan sosial yang terjadi sejak 19 Januari 1999 hingga pertengahan 2002 masih meninggalkan luka-luka sosial yang mendalam di Ambon. Mengapa damai masih rapuh dan getas di Ambon? Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan.
Pertama, konflik komunal yang terjadi sejak 19 Januari 1999 telah menghasilkan terjadi-nya segregasi komunitas di pulau Ambon: ada "daerah Islam", ada "daerah Kristen". Segregasiberdasarkan agama sebenarnya merupakan salah satu warisan era kolonial, sehingga kemudian terbentuk "Negeri Salam" dan "Negeri Sarani". Pemukiman campuran (Islam-Kristen) yang mulai tumbuh dan berkembang terutama sejak 1970-an kini hilang, dan setelah konflik orang kembali kepada pemukiman berdasarkan agama masing-masing. Bahkan sejumlah asrama militer di Ambon masih ditempati oleh aparat dari agama tertentu secara terpisah.
Kedua, masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Ambon. Hal ini diperburuk dengan banyaknya pengungsi yang belum kembali ke daerah asal.
Ketiga, masih banyaknya senjata (baik rakitan maupun standar militer) yang masih dimiliki secara ilegal oleh masyarakat. Diperkirakan masih ada sekitar 500 pucuk senjata dan ribuan peluru organik militer yang beredar secara ilegal di masyarakat dan ratusan lain senjata dan bom rakitan. Fakta ini membuat potensi kekerasan semakin besar di kota Ambon.
Keempat, masih adanya kelompok "garis keras" dalam dua komunitas tersebut. Dalam komunitas Kristen, kelompok ini sebagian besar berafiliasi kepada Forum Kedaulatan Maluku yang merupakan penerus gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Di komunitas Islam, kelompok ini sebagian besar tergabung dalam kelompok-kelompok laskar yang berafiliasi kepada (dulu) Laskar Jihad dan kelompok sejenisnya. Identifikasi adanya kelompok "garis keras" ini terutama terjadi menjelang perundingan damai Malino II pada Februari 2002, ketika kelompok-kelompok tersebut menolak datang ke meja perdamaian.
Kelima, masih adanya kelompok "garis keras" di kalangan aparat keamanan. Yang dimaksud adalah (1) mereka yang percaya bahwa pendekatan militer merupakan modus terbaik dalam penanganan konflik di Ambon, khususnya yang terkait dengan isu separatisme, (2) mereka yang berupaya untuk meneruskan eksistensi dan peran besar aparat keamanan dalam situasi pascakonflik, (3) mereka yang terlibat dan bersikap partisan selama konflik namun tidak mendapat hukuman. Munculnya fenomena penembak gelap dalam konflik mutakhir ditengarai merupakan bagian dari ulah kelompok ini.( Koran Tempo)

Segregasi sebuah Ancaman
1. Agama dan Konflik Sosial
Diskursus hubungan agama dan konflik sosial sering menimbulkan perdebatan. Hal ini disebabkan sekian banyak konflik yang terjadi di belahan dunia selalu mengikutkan agamaagamaagama. Di sisi lain para pengamat mengatakan tidak satupun agama yang mengajarkan pertikaian ataupun konflik. Alasan lain yang dapat diberikan adalah bahwa yang bertikai bukan agamanya melainkan penganut ajaran agama tersebut yang tidak memahami ajaran agamanya. Pada bab ini pembahasan
Dalam bukunya, The End of Faith (2005, 2004), Sam Haris mengungkapkan bahwa sejarah agama-agama, khususnya agama Smith atau agama Ibrahim yang menamakan dirinya agamaagama-agama lain, misalnya konflik antara penganut agama Hindu dan Buddha, antara Hindu dan Islam, serta antara Buddha dan Islam. Justru itulah gejala kebangkitan agama-agama yang dimaksud oleh John Naisbitt. Bahkan konflik internal antara mazhab Sunni dan Syiah serta antara Sunni dan Ahmadiyah. (M. Dawam Rahardjo)
Di sini agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, melainkan telah menjadi bencana, seperti kata Kimley. Sumber pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman atau akidah. Memang, berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik, misalnya di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Maluku. Dalam kasus itu, agama hanyalah sumber legitimasi yang dimanfaatkan demi kepentingan politik ataupun ekonomi. Tapi mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Sebab, agama itu mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar serta dibantu Tuhan masing-masing.
Karena itu, konflik agama atau antar penganut agama dan konflik yang melibatkan agama selalu sulit dicarikan penyelesaiannya. Ini sangat kentara dalam kasus konflik Poso. Hal ini terjadi lantaran konflik antar pemeluk agama itu selalu melahirkan dendam, karena terjadinya kekejaman, bahkan ketika konflik kepentingan ekonomi dan politik sudah memperoleh solusi yang adil. Selain itu, perbedaan iman atau keyakinan tersebut sulit dikompromikan, sedangkan pertentangan kepentingan ekonomi dan politik dapat dinegosiasi. Apalagi sekarang sudah dikembangkan teori-teori resolusi konflik dalam penelitian peace-research. Tapi metode tersebut belum bisa diaplikasikan untuk mencari penyelesaian yang damai dan adil dalam konflik agama, karena iman itu tidak bisa dikompromikan. Bahkan dialog antar-iman saja masih belum bisa diterima oleh semua pemeluk agama, karena bagi mereka iman atau akidah itu tidak bisa didialogkan. Itulah masalahnya ketika agama telah menjadi bencana.
Penyelesaian masalah agama yang telah menjadi bencana dewasa ini lebih sulit dan lebih rumit lagi, karena berbagai konflik kepentingan ekonomi serta politik di berbagai belahan dunia itu telah melibatkan agama. Konflik kepentingan ekonomi dan politik tersebut selalu dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik Irlandia Utara disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen, konflik Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme Thailand Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Gerakan separatisme Maluku Selatan dilatarbelakangi oleh perbedaan Islam-Kristen, juga masalah gerakan Papua Merdeka. Konflik separatisme Aceh ternyata dapat diselesaikan melalui kompromi, karena tidak melibatkan perbedaan agama, mereka sama-sama muslim. Di lain pihak, persamaan agama bisa tidak menyelesaikan masalah, misalnya dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku Kurdi ataupun bangsa Turki dan Irak sama-sama muslim. Dalam kasus ini, timbul pertanyaan, lalu apa manfaat persaudaraan karena persamaan agama?
Mengapa agama secara potensial merupakan sumber konflik dan bencana sepanjang waktu dan di mana saja? Pertama, agama, terutama agama Smith, menekankan iman atau akidah yang tidak bisa dikompromikan dan tidak bisa didialogkan. Kedua, akidah itu selalu mengklaim kebenaran absolut yang eksklusif. Ketiga, agama terbesar di dunia, Kristen dan Islam, adalah agama dakwah atau evangelis, yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-banyaknya. Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip "tujuan menghalalkan cara" (the end justify the means), misalnya dalam kasus bom. Artinya, jika tujuannya itu dinilai benar, cara apa pun telah disucikan oleh tujuan itu, termasuk penggunaan kekerasan, kalau perlu berperang demi mempertahankan akidah. Kelima, dalam mencapai tujuan atau mempertahankan diri, agamaagama dan negara. Dalam kasus formalisasi syariat, negara diperlukan untuk melaksanakan syariat sebagai hukum positif yang sifatnya memaksa.
Karena itu, agar sikap dan pelaku agama tersebut bisa lebih teduh dan ramah, diperlukan pembaruan cara keberagaman baru di masa mendatang. Pertama, agama tidak lagi menitikberatkan iman atau akidah, tapi perilaku atau moral. Kedua, komunikasi antarpenganut agama tidak perlu disertai dengan klaim eksklusif kebenaran, tapi koeksistensi kebenaran atau kebenaran yang plural. Ketiga, dakwah agama jangan menekankan kuantitas pengikut, melainkan kualitas keberagamaan dan pembinaan komunitas. Keempat, dalam persaingan antaragama, prinsip "tujuan menghalalkan cara" harus ditinggalkan. Tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar pula. Kelima, pelaksanaan ajaran agama tidak memerlukan bantuan kekuasaan yang memaksa, dalam hal ini negara.
Jika agama masih ingin memiliki masa depan, perubahan cara keberagamaan di atas perlu dipertimbangkan serius. Jika tidak, ramalan Sam Haris, yaitu berakhirnya iman, perlu diperhatikan secara serius. Tapi, menurut Sam Haris, agama formal yang melembaga sekarang memang tidak memiliki masa depan. Dan jika kita melihat Eropa sekarang, agama formal yang melembaga akan mengalami transformasi besar (great transformation) menjadi seperti yang diramalkan oleh Sapdo Palon Noyo Genggong, yaitu agama budi atau agama moral atau meminjam istilah Hans Kung, seorang pastor Katolik Jerman, etika global (global ethics). Agamaagama tanpa iman kepada Tuhan (religion without faith) atau agama tanpa Tuhan (religion without God). Di sini indikator religiositas bukan lagi iman kepada Tuhan atau ketaatan beribadah, melainkan moralitas atau perilaku dalam berkomunikasi dengan sesama manusia dan alam. Orang yang berkawan dengan alam atau hidup ramah dan damai umpamanya dapat disebut religius.
Dalam perspektif filsuf Muslim Jerman, F. Schuon, dan filsuf Syiah, Syed Hossein Nasr, agamaagama perenial. Agama perenial lahir jika agama-agama bertemu pada tingkat esensial atau hakikat. Artinya, syariat tidak lagi merupakan inti agama seperti sekarang ini. Dalam istilah para sufi muslim, terlahir kesatuan agama-agama (wahdatul adyan). Dalam praktek sufi, agama adalah proses transendensi mengatasi agama-agama formal dalam upaya memahami jati diri. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, ia akan bertemu dengan Tuhan.
Dalam pengertian agama seperti itu, orang tidak perlu mengklaim kebenaran. Agama juga tidak perlu didakwahkan, apalagi dengan menggunakan pedang. Dengan perkataan lain, agama tidak memerlukan institusi negara karena agama tidak perlu perlindungan dari ancaman. Dalam pertemuan agama-agama itu tidak perlu persaingan, apalagi perjuangan antaragama. Agama-agama telah mengalami perdamaian (darr al-salam). Atau dalam bahasa Kristen, manusia telah memasuki kerajaan Tuhan yang aman dan damai. Dalam pengertian Islam, agama-agama telah terislamkan. Dalam keadaan seperti ini, agama tidak lagi bisa dimanfaatkan atau dimanipulasi untuk kepentingan individu dan kelompok.
Dalam perspektif seperti itu, agama sepertinya akan mengalami transformasi menjadi spiritualisme. Dalam situasi seperti itu, agama memang makin menjadi urusan pribadi. Dalam perspektif Durkhemian, agama menjadi tidak fungsional dalam perkembangan masyarakat. Padahal agama-agama di masa lalu itu selalu berperan dalam perubahan kemasyarakatan dan merupakan tiang penyangga penting dalam civil society, seperti dikatakan oleh Toquivile, sebagaimana ia lihat dalam masyarakat Amerika abad ke-19. Peran ini hanya bisa terjadi melalui agama yang melembaga sebagai bagian dari kebudayaan. Karena itu, dalam masyarakat modern yang sekuler, peranan agama yang melembaga tetap diperlukan. Tapi peranan itu diperlukan jika agama-agama bekerja sama dalam mengembangkan agama publik (public religion), sebagaimana dikembangkan dalam teologi pembebasan (liberation theology). Sebagai kekuatan pembebas dari segala bentuk tirani, itulah peran yang diharapkan oleh masyarakat modern.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, kegiatan keagamaan berlangsung begitu marak. Peringatan hari besar agama tidak pernah terlewatkan, tempat-tempat ibadah didirikan di
keberagamaan yang terus marak itu, keadaan bangsa Indonesia akan lebih tenang dan tenteram, tidak ada konflik antara gama walaupun Indonesia sedang menghadapi krisis moneter.
Nyatanya, sebelum Krisis pun konflik sosial berwarna keagamaan tetap ada (jadi mempertegas bahwa kesenjangan sosial-ekonomi bukanlah satu-satunya faktor dominan). Kalau begitu apakah AN Wilson benar ketika di tahun 1992 ia menulis sebagai berikut:
"Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar dari segala kejahatan. Agama
tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya dari pada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilikan kebenaran" (Against Religion: Why We Should Try to Live Without It, London: Chatto and Windus. Sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid dalam Naskah Ceramah Budaya-nya di TIM tanggal 21 Oktober 1992).
Dalam fenomena kehidupan, apa yang dikemukakan Wilson tersebut memang menjadi masalah dalam pembahasan tentang hubungan (korelasi) antara eksistensi Agama dengan eksistensi kebaikan (manusia) di muka bumi ini. Untuk menjawab teka-teki ini, Gordon W Allport dan Michael Ross (1967)-dua orang penggiat kajian psikologi agama-merumuskan apa yang mereka istilahkan dengan Orientasi Beragama (Religious Orientation). Allport dan Ross merumuskan Orientasi Beragama sebagai "sistem cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya" (P Mohamad, 1996). Sistem cara pandang ini akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang diyakininya sebagai perintah agama.
Ada tiga tipe Orientasi Beragama, yaitu Orientasi Beragama Ekstrinsik (OBE) atau juga disebut Religion as Means, Orientasi Beragama Instrinsik (OBI) atau Religion as End, dan terakhir Orientasi Beragama Mencari (OBM) atau Religion as Quest (OBM ini dirumuskan oleh Daniel Bateson, dan kawan-kawan dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori Allport dan Ross). Pemeluk agama dengan OBE memandang pelaksanaan ajaran agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadinya, seperti misalnya: penerimaan sosial orang lain, rasa aman, pembenaran diri, dan lain-lain (Crapps, 1993 dan Wulff, 1991). Sementara orang yang OBI menganggap pelaksanaan agama sebagai motif hidupnya. Menjalani agama merupakan tujuan sehingga memiliki nilai terminal. Kebutuhan-kebutuhan pribadi lain menjadi tidak terlalu penting, dan justru diselaraskan dengan agama. Sedangkan OBM menggambarkan sejauh mana individu dalam beragama melibatkan dialog-dialog yang terbuka dan responsif mengenai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang muncul dari kontradiksi dan tragedi dalam hidup. Orang yang tinggi orientasi pencariannya, memberlakukan agama sebagai perjalanan yang berliku dan mungkin tak berujung untuk mencari jawab atas pertanyaan tentang makna hidup (Wulff, 1991 dalam Mohamad, 1996).
Sehubungan dengan hasil kajian psikologi agama di atas, dapatlah disimpulkan secara tentatif, bahwa di Indonesia-dan kemungkinan juga di bagian dunia lainnya-yang berkembang diagama adalah orientasi beragama yang ekstrinsik atau bersifat instrumental.
Bagi saya, dan saya rasa ini yang perlu menjadi pemahaman bersama, bahwa orang yang OBE sesungguhnya secara prinsipiil tidaklah dapat disebut orang yang beragama, karena sesungguhnya agamanya orang OBE bukanlah agama itu sendiri, melainkan kepentingan pribadinya atau kelompoknya. agama adalah sekadar alat. Dapat dicontohkan di sini bahwa ketika terjadi konflik antar komunitas beragama, sekelompok orang merusak rumah ibadah agama lain demi pemuasan pembenaran dirinya bahwa agamanyalah yang paling agung, sehingga rumah ibadah agama lain tidak "pantas" untuk memperoleh hak hidup seperti mereka. Atau ketika sekelompok orang menganiaya "musuh"-nya (ingat konflik di Ambon di mana yang menjadi musuh itu sebetulnya pela-gandong-nya sendiri), yang mereka perjuangkan sungguh-sunguh saat itu sebetulnya bukan agamanya (jelas, karena agamanya justru melarang menganiaya orang) melainkan identitas kelompoknya sendiri yang berlabel "agama" (dalam konteks yang lain label itu bisa saja berubah jadi identitas suku atau kelas sosial)! Dalam kerangka pemahaman ini, Wilson membuat kesalahan ketika ia mengatakan bahwa " agamaagama dan seterusnya" karena ia menyederhanakan dan menyamaratakan (pemahaman atas) agama.
HARMONISASI kehidupan beragama yang selama ini didengung-dengungkan kepada dunia luar kenyataannya retorika "berketiak ular" (adakah ular yang berketiak?) Diam-diam perseteruan diametral antarkelompok agama tertentu merebak akibat masing-masing mereka dipenuhi oleh rasa prasangka dan pikiran dogmatis. Kasus-kasus yang meletus di Tasikmalaya, Ketapang, Kupang dan seterusnya menunjukkan pengusungan" agama sebagai identitas sosial menyimpan potensi konflik sosial yang dahsyat (karena itu pengertian agama perlu kita luruskan seperti didi tengah masyarakat selama ini lebih didominasi oleh tokoh-tokoh agamaagama dari sayap intelektual/kultural. Pemuka agama sayap politis yang notabene identik dengan agamawan "resmi"/formal adalah mereka-mereka yang banyak duduk (walau tidak semua) dalam birokrasi lembaga keagamaan, lembaga pemerintah, ormas dan partai politik. Mereka adalah orang-orang yang memiliki vested interest baik secara sembunyi ataupun blak-blakan terhadap konsesi politik/material yang mampu diberikan pemegang kekuasan. Demi konsesi politik/material tokoh-tokoh tipe ini rela "menjual" jiwanya- dan yang lebih parah lagi jiwa-jiwa warganya-demi mati-matian mempertahankan posisinya didi awal Orde Baru memunculkan figur-figur yang berdagang dengan Memphisto laiknya lakon Dr Faust).
Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperoleh ketokohannya dari identifikasi massa dengan simbol-simbol agama yang sifatnya superfisial. Sebagaimana dikatakan Mudji Sutrisno dalam wawancaranya dengan salah satu media baru-baru ini, bahwa selama ini agama dihayati dalam hubungannya dengan kekuasaan yang amat materialistis sekali. Dengan kata lain, selama 32 tahun "yang suci dari Allah"-entah itu perintah nabi, entah itu ajaran kasih dari kitab suci Injil dan semuanya - ketika dibawa oleh pemimpin agamanya (terutama oleh para tokohnya dari sayap politik. Catatan tambahan dari saya) dalam kekuasaannya diterjemahkan sebagai kekuatan fisik. Lalu si tokoh itulah yang berhak mengatakan benar atau tidak.
Romo Mudji menambahkan, lihat khotbah baik di masjid maupun di gereja yang tertutup dengan mengatakan: kami komunitas paling benar. Dan yang di sana, di luar masjid atau di luar gereja, yang salah. Ini bukti perlakuan agama sebagai hal material kekuasaan. Bila Romo Mudji benar -dan saya kebetulan sependapat dengan beliau- berarti proyek "Pembaharuan Islam" yang gerbongnya ditarik oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) belumlah dapat disebut berhasil sebagaimana didengung-dengungkan selama ini. Pemikiran keagamaan Cak Nur yang saya interpretasikan lebih menekankan substansi agama (Islam) sebagai ajaran-ajaran mulia yang universal serta lebih melihat perilaku beragama sebagai proses mencari kebenaran instead of truth pencapaian kebenaran adalah sejalan dengan Orientasi Agama Mencari atau Religion as Quest. Sejauh hemat saya lagi, pemahaman keagamaan versi Cak Nur ini masih sangat elitis, jadi bukanlah pemahaman keagamaan yang berkembang di-"akar rumput".
Selama beberapa tahun terakhir, tokoh agama sayap intelektual/kultural dan pengamat Islam dimassa terhadap mereka. Terjadi kesenjangan yang lebar antara kenyataan dengan harapan. Kaum elite merasa pemahaman tersebut telah diserap oleh kalangan masyarakat banyak, padahal pemahaman tersebut hanya tersosialisasi di antara sesama mereka saja.
Pemahaman keagamaan yang dirumuskan Cak Nur dan kawan-kawan-saya menyertakan Abdurrahman Wahid dalam kategori ini-merupakan pemahaman keagamaan yang sangat nalar. Dibutuhkan diskusi yang intens dan paparan terhadap wacana tertulis yang luas -sebagaimana ditunjukkan makalah-makalah Cak Nur yang tebal-tebal dan sarat referensi itu. Suatu hal yang merupakan kemewahan tersendiri bagi rakyat banyak khususnya di pelosok-pelosok Nusantara, yang untuk membiayai makan sehari-hari saja sangat susah. Kasus-kasus konflik sosial didi atas. Problem-problem yang dipicu oleh masalah ekonomi bisa merembet ke konflik bernuansa agama dengan mudahnya. Kenapa lagi kalau bukan motif-motif emosional sebagaimana dijelaskan oleh Orientasi Beragama Ekstrinsik? Inilah contoh nyata dari kesenjangan teologi yang masih membentang antara pimpinan dengan massa-nya, antar bdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan "akar rumput"-nya di NU.
Selain membutuhkan kapasitas nalar yang besar, keberagamaan berorientasi mencari membutuh-kan prasyarat lain berupa kondisi psikologis yang tidak dipenuhi oleh kecemasan. Hal ini menjelaskan mengapa kelompok masyarakat tertentu yang terdidik seperti mahasiswa masih terseret oleh pemahaman keagamaan yang ekstrinsik. Era modernisasi dan globalisasi-yang diidentikkan dengan dunia Barat yang merambah Indonesia membawa efek samping berupa kerancuan norma, disorientasi nilai dan kebingungan identitas di kalangan mahasiswa dan generasi muda umumnya, dus perasaan gelisah dan tidak nyaman selalu mengiringi ke mana pun mereka melangkah. Ajaran-ajaran keagamaan yang menawarkan klaim kebenaran, memberikan aturan dan panduan yang ketat, pimpinan/tokoh agama yang selalu menunjukkan apa yang harus dilakukan, serta keanggotaan dalam kelompok dengan kohesivitas tinggi; semuanya itu mampu menawarkan kecemasan yang timbul. Di sini letak ironisnya karena kondisi yang demikian sangat kondusif bagi naiknya tokoh-tokoh agama sayap politik. AN Wilson-tokoh kita di atas-sampai pada kesimpulan yang salah karena ia menyusun logikanya setelah ia mendengar seorang uskup Ortodoks Yunani dalam suatu khotbah, yang mengatakan: "Seorang agamawan yang baik adalah orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya orang lain karena kekeliruan keagamaan. Jadi sementara seorang agamawan yang baik acapkali mencela sikap sempit pikiran dan tidak toleran terhadap orang lain yang ingin menganiayanya, namun mereka sendiri mempertahankan hak untuk memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan adakalanya mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban" (dalam Nurcholish Madjid, ibid). Menurut saya, bila kita ingin mendeteksi apakah seorang tokoh agama itu termasuk sayap politik, dengarlah apakah ia mengatakan sebagaimana didengar Wilson di atas.
INDONESIA tidak akan pernah lepas dari konflik sosial bernuansa keagamaan selama yang memegang kendali adalah tokoh-tokoh agama dari sayap politis. Apabila tokoh-tokoh agama
konflik-konflik bernuasa keagamaan lainnya yang tidak lagi sporadis tetapi sudah massif sehingga menjelma "Fasisme-Religi". Maraknya konflik-konflik sosial bernuansa keagamaan merupakan "lampu merah" bagi tokoh-tokoh agama sayap intelektual/kultural untuk bangkit dan terbangun dari fatamorgana keberhasilan yang rupanya masih mewujud di atas kertas belaka. Era Reformasi yang enjungkirbalikkan tatanan sosial-politik yang sudah tua, justru memperberat tugas dan tanggung jawab para tokoh agama sayap intelektual/ kultural arena justru dalam situasi seperti ini tokoh-tokoh dari sayap politik gampang memanfaatkan momentum. Namun tetap tugas dan tanggung jawab itu harus diemban, yaitu Bring back religion to its essence, dan bukan Bring back religion to politics!
President ASEAN Youth Hindu Council (Dewan Pemuda Hindu Asia Tenggara) I Nyoman Nurjaya SH MH mengatakan, isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) bakal tetap aktual diguna-kan provokator untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Pasalnya, kata Nurjaya, masyarakat sangat rentan terhadap isu keagamaan. Apalagi, sensibilitas terhadap unsur agama semakin kuat dengan munculnya berbagai partai yang bernuansa primordial.
"Celakanya, dunia pendidikan kita selalu mengagung-agungkan keakraban semu antarumat beragama selama Orde Baru berkuasa. Padahal, kerekatan pada Orde Baru itu lahir karena ada represi kekuasaan," kata Nurjaya kepada Media kemarin, di Malang.
Isu SARA yang kemudian menimbulkan kerusuhan antarsuku dan agama, telah merebak bahkan mengambil banyak korban jiwa dan harta benda di Indonesia. Peristiwa Mei 1998 didi Jl Ketapang, Jakarta, peristiwa Kupang, dan terakhir meletusnya peristiwa Ambon.
Menurutnya, menilik situasi yang berkembang akhir-akhir ini, orientasi pendidikan moral dan keagamaan di Indonesia harus berubah secara mendasar. Paling tidak, katanya, harus ditumbuhkan kesadaran bahwa potensi konflik keagamaan memang ada.
"Dengan begitu, konflik-konflik yang muncul --entah karena keadaan tidak sengaja atau dibumbui peran provokator-- dapat dieliminasi sedini mungkin," kata Nurjaya.
Nurjaya yang aktif dalam Forum Komunikasi antar-Umatberagama (FKUB) menambahkan, toleransi yang ada baru pada tataran masyarakat berpendidikan menengah dan tinggi. Sementara di pedesaan –atau kawa-san yang jauh dari pusat kekuasaan-- pemahaman sempit masalah keagamaan masih ada.
Kalau di perguruan tinggi (PT), menurut dia, memang ada materi perbandingan agama. Itu pun baru sebatas pada PT atau fakultas agama. Sedangkan pada PT atau fakultas lain, sama sekali tidak pernah tersentuh.
"Mentang-mentang mengakui adanya perbedaan agama bukan sebagai potensi konflik, masalah perbandingan agama tidak pernah disentuh," ujarnya lagi.
Memang, tambah Nurjaya, dalam situasi seperti saat ini seakan-akan situasi sudah tidak memungkinkan lagi untuk menggali kembali nilai-nilai relegiusitas semacam itu. Padahal, katanya, lebih baik dilakukan penggalian daripada tidak pernah dilakukan sama sekali.[gp]***

Hubungan Islam Dan Kristen
(Budhy Munawar-Rachman Kompas, 20 Agustus 2005)
Salah satu masalah besar dari paham pluralisme keagamaan, yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan, adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau dalam suatu rumusan, "What should one think about religions other than one's own?" (Apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain, dibandingkan dengan agama sendiri?)
Jawaban atas pertanyaan ini telah menimbulkan paham-paham eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme dalam keagamaan, juga bahkan etnik dan ideologi. Sejarah agama-agama bergulat dalam tarik-menarik paham ini. Berkaitan dengan hubungan Kristen-Islam di Indonesia, Pendeta Dr Jan S Aritonang menggambarkan sejarah panjang hubungan kedua agama tradisi Ibrahim ini: Sejarah yang bukan hanya diwarnai oleh hubungan kerja sama yang harmonis, tetapi juga diliputi oleh banyak konflik dan prasangka.
Keadaan ini bukan hal baru, sudah ada sejak awal kedua agama ini bertemu. Hugh Goddard, seorang Kristiani, ahli teologi Islam di Nottingham University, Inggris, pernah menulis sebuah buku yang cukup menantang, Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995). Dalam buku yang berisi uraian sejarah dan doktrin itu, ia menyimpulkan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam, apa yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman diagama sendiri dan standar lain, yang lebih bersifat realistis dan historis, untuk agama lain. Melalui standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka teologis, yang memperkeruh suasana hubungan antar-umat beragama dalam sejarah perjumpaannya. Anggapan ada tidaknya keselamatan dalam agama lain sering kali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda ini.
Dalam soal teologi, misalnya, standar yang menimbulkan masalah klaim kebenaran adalah standar bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agamaagama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama kita. Lewat standar ganda inilah kita menyaksikan bermunculannya perang klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan, yang kadang-kadang berlebihan dari satu agama atas agama lain, dengan sama sekali mengeluarkan seorang yang beragama lain dari partisipasi bersama dalam jalan Tuhan. Inilah awal mula konflik antar-agama dari sudut pandangan teologis.

Sejarah politik Kristen-Islam
Buku Dr Jan S Aritonang ini dapat dikategorikan sebagai buku sejarah agama-agama diIndonesia, yang melihat terutama segi politis, karena itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik kepentingan antara penganut Kristen dan Islam selama masa erjumpaannya yang panjang.
Tentu saja konflik bukan satu-satunya jenis hubungan Kristen-Islam, tetapi karena sudut penelitian buku ini adalah Segregasi, maka nuansa konflik kepentingan sangat kuat. Pencatatan sejarah yang ditulis Aritonang ini sangat berharga untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya belajar dari sejarah perjumpaan yang sudah terjadi dalam hubungan Kristen-Islam di Indonesia.
Buku yang terdiri atas enam bab ini berisi uraian yang sangat rinci tentang sejarah Kristen Islam di Indonesia sejak masa kolonial, yaitu masa awal kekristenan di Indonesia, sampai tahun 2003. Aritonang mencatat perjumpaan awal Islam-Kristen terjadi pada zaman Portugis, Spanyol, dan VOC. Setelah itu, perjumpaan berlanjut pada masa Hindia-Belanda dengan tokoh-tokoh seperti CL Coolen (1775-1873), FL Anthing (1820-1883), Ibrahim Tunggul Wulung (+ 1885), dan Kiai Sadrach (1835-1924). Di masa Hindia Belanda ini, Aritonang menguraikan politik Islam pemerintah kolonial termasuk politik etis yang memberi dampak pada hubungan Kristen-Islam dengan munculnya berbagai organisasi politik dan agama seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Jong Islamieten Bond, Partai Arab Indonesia, Majelis Islam A'laa Indonesia, termasuk juga beberapa organisasi dan tokoh Kristen seperti Rencono Budiyo dan Mardi Pracoyo, Perserikatan Kaum Christen (PKC), dan Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI).
Aritonang mencatat perjumpaan Islam-Kristen pada masa Orde Lama, di antaranya menyangkut tentang pemberontakan DI/TII/NII, perdebatan di Konstituante, dan masalah penyiaran agama. Sementara pada masa Orde Baru dicatat beberapa hal, seperti SKB No 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan perusakan gereja.
Perjumpaan di era "Reformasi" ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta, serta UU Pendidikan Nasional tahun 2003. Daftar panjang uraian sejarah ini menandakan betapa komprehensifnya penulisan Jan S Aritonang tentang sejarah politik Kristen-Islam di

B. Agama sumber masalah?
Dalam Kata Pengantar untuk buku ini, Prof Dr Azyumardi Azra mengutip pikiran Charles Kimball, "Is religion the problem?" Jawabnya, no and yes. Jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung dari pemahaman kita mengenai makna atau kodrat agama. Di satu sisi, agamaagamaagama berdimensi sosial-politis sebagai sebuah organized religion.
Berhadapan dengan berbagai interpretasi, perilaku, dan peristiwa yang bisa jadi tidak disetujui oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan, maka agama atau lebih tepat orang beragama masuk ke dalam berbagai konflik kepentingan. Ini mengawali pergumulan agamaagama semakin agresif dalam pencarian otentisitas, baik dalam agama yang mereka peluk maupun dalam penghadapan dengan agama-agama lain. Pencarian otentisitas keagamaan secara sangat bersemangat, padagilirannya cenderung berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras di antara agama- agama".
Perjumpaan yang keras antar-agama menimbulkan dilema karena, di satu sisi, agama adalah pembawa damai, tetapi di sisi lain, agama telah ikut mendorong konflik, bahkan kadangkala tindakan kekerasan. Keadaan ini pernah digambarkan oleh seorang penulis keagamaan, AN Wilson, yang juga pernah menjadi wartawan spesialis konflik antar-agama. Wilson dalam bukunya,
Against Religion, Why We Should Try to Live Without It (1990), menunjukkan dilema dalam konflik antar-agama, yang jika diringkas kira-kira, jika seseorang ada dalam sebuah agama, konflik dengan agama lain akan dianggap sebagai "sebuah tindakan kebenaran melawan kezaliman". Sedangkan jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka ia akan menganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah, yang zalim. Tetapi, jika seseorang berada di luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya ada dalam kesalahan, dan ia akan menganggap bahwa konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan karena jelas keduanya salah.
Wilson menggambarkan bahwa agama yang ada dalam kenyataan itulah yang sering mewarnai konflik-konflik antar-agama sepanjang zaman. Seorang beragama bisa mengatakan, yang salah adalah orang yang beragama itu, yang tidak memahami arti agamanya itu. Namun Wilson menjawab, "Kalau agama itu benar, tetapi tidak mampu memengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar tetapi tidak memengaruhi watak pemeluknya?" Sebuah pertanyaan retorik yang menggugah kearifan jawaban dari seorang penganut agama.
Secara teologis, apa yang dikatakan Wilson merupakan akibat sosiologis dan politis dari cara pandang agama yang berawal dari sebuah standar tentang agamanya sendiri. Kitab Sucinya itu yang dianggap sumber kebenaran, sepenuhnya diyakini bersifat konsisten dan berisi kebenaran- kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali, bersifat lengkap dan final, karena itu memang tidak diperlukan kebenaran dari agama lain. Kebenaran agamanya sendiri dianggap satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan, ataupun pembebasan. Seluruh kebenaran itu diyakini orisinal dari Tuhan. Tidak ada konstruksi manusia.
Inilah masalah dari zaman ke zaman yang kita warisi bersama, teologi lama kita memang dibuat, dan sejarah kemudian mengekstrem-kannya, dalam suatu kondisi nonpluralitas, bahwa hanya agama kitalah yang paling benar, yang lain salah atau telah menyimpang. Di sini awal mula yang Charles Kimball kemukakan sebagai "when religions become evil"!
Kimball memberi tiga tanda, yang menjadi penyebab utama "agama bisa menjadi jahat", sebuah kesimpulan yang jelas disetujui oleh Aritonang: pertama, adanya klaim-klaim kebenaran. Klaim yang bersifat mutlak ini menjadi fondasi iman, di mana struktur keagamaan berdiri. Bersamaan dengan itu, klaim ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi. Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan agama tidak toleran. Maka muncul istilah-istilah bid'ah, kafir, heterodoks, dan sebagainya, untuk mengekskomuni- kasi mereka yang menyimpang. Kimball menyebutkan, "Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia."
Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, tetapi hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama
Kedua, berkaitan dengan klaim kebenaran yang mutlak itu, maka ada semangat misionarisme yang militan, dengan menggunakan segala macam cara, untuk "menyelamatkan orang- orang yang berdosa" baik di lingkungan agama sendiri, apalagi agama lain. Tujuan ini bisa membenarkan cara apa pun. Untuk maksud ini, sering disertai dengan declaration of holy war, yang jelas bertentangan dengan maksud suci agama yang mau membawa kedamaian.
Dalam penelitian Azyumardi Azra, seperti tertera dalam buku ini, disebutkan ada lima faktor yang sering memperuncing ketegangan Kristen-Islam, yaitu penerbitan tulisan-tulisan oleh agama tertentu tentang agama lain, yang dipandang tidak sesuai dengan apa yang mereka imani, karena itu agama lain dianggap mencemarkan agama mereka; termasuk di sini masalah penyebaran pamflet mengenai rencana penyebaran agama, apalagi kalau itu sudah menjadi usaha penyebaran agama secara agresif; penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama, atau pembangunan rumah ibadah di lingkungan penganut agama tertentu; penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama; kecurigaan timbal balik berkenaan dengan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia.
Sejarah panjang Kristen-Islam yang penuh ketegangan memang memerlukan rekonsiliasi, atau paling tidak kerja bersama mewujudkan suatu hubungan antar-agama dan antar-iman yang akan membawa kedua agama tradisi Ibrahim ini bisa memberi rahmat kepada kehidupan bersama di Indonesia. Dalam pengembangan hubungan yang lebih baik, tampaknya perlu dikembangkan suatu pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama, dengan menegaskan pentingnya suatu teologi agama-agama, di mana kedua agama ini mencoba mengembangkan suatu teologi dalam konteks agama-agama, untuk suatu tujuan pemahaman yang lebih mendalam tentang rencana Ilahi atau istilah teologi Kristen mendialogkan "new depths of understanding of God's saving ways". Dalam hal ini, kita bisa bicara teologi Kristen mengenai Islam, dan sebaliknya, dikembangkan dengan sebuah sudut pandang yang lebih terbuka, inklusif, lebih baik kalau bisa dikembangkan pendekatan yang pluralis. Dengan pengembangan teologi agama-agama ini, diharapkan juga bisa berkembang kepemimpinan para agamawan dalam membina umat agar terwujud suatu kerukunan hidup antar-umat beragama yang sejati. Dengan teologi agama-agama ini, para pemimpin agama akan dipersiapkan memasuki bidang yang sekarang sangat berkembang, yaitu "dialog teologis".






Situasi segregasi social pasca konflik terbentuk berdasarkan garis perbedaan agama yang cukup kental. Tercatat kurang lebih 88% dari wilayah geografis Maluku tersegregasi berdasarkan garis agama pasca konflik. Segregasi sendiri bukan merupakan fenomena baru di Maluku, mengingat kondisi ini telah dibangun sejak masa colonial sebagai strategi control terhadap daerah jajahan. Konflik yang ditarik pada sumbu agama, dengan sendirinya menegaskan dan memperluas wilayah segregasi yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis demikian menjadi arena yang cukup seksi, bila kapan saja konflik mau dimainkan di wilayah agama. Penebalan kondisi segregasi dimungkinkan terjadi karena kecederungan mekanisme resolusi konflik selama ini baru menyentuh pembentukan perspektif bersama, dan belum berhasil mensintesiskan proses reintegrasi social pada pemenuhan kebutuhan social dasar di level public. Khususnya pada wilayah-wilayah perbatasan antara komunitas yang bertikai selama ini.

Konflik Ambon conflict, Violent conflict, Mass mobilization, Social movement theory. Comment (1) | Trackback (0)
ttp://korantempo.com/korantempo/2007/12/21/Opini/krn,20071221,52.id.html M. Dawam Rahardjo

Muhammad Qodari, pengamat masalah sosial politik, alumnus Fakultas Psikologi UI, Jakarta. )Kamis, 28 Januari 1999 MALANG (Media)



Negeri Suli atas. kepulauan Maluku, terutama terjadinya pengelompokkan masyarakat Kristen Katolik. Selanjutnya, pada masa kolonial Belanda terjadi persebaran antaranya Animisme, Hindu, maupun Islam. beberapa negara lain yang rakyat nya tidak terganggu oleh konflik sejenis kesadaran nasional yang antara Muslim dan Kristen. Kalau kelompok muslim tinggal sesuai dengan dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok kepulauan Maluku, terutama terjadinya pengelom-pokkan masyarakat Kristen Protestan. Akibat dari masa kolonialisme yang cukup lama, pembagian masyarakat dan pemerintah karena kekawatirannya bahwa salah satu (memperparah konndisi RI). Hal ini pernah terjadi komunitas sebagai salah satu faktor konflik yang terjadi. Sebagian para pengamat sosial dan seringkali mengatakan bahwa hal itu bukan disebabkan perbedaan langit, adalah sejarah konflik, peperangan, dan pertumpahan darah. Tapi, pada abad ke-21, wajah yang sama mewarnai pada umumnya meminta bantuan kekuasaan dan negara. Itulah sebabnya, dalam Islamisme diyakini prinsip kesatuan seperti itu mengimplikasikan makna masa depan adalah mana-mana, kuota haji terus meningkat, dan seterusnya. Semestinya dengan indikator kegiatan adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling kalangan pemeluk mendorong orang untuk menganiaya atas). Bagi saya, fakta-fakta ini mengarahkan secara tegas kesimpulan berikutnya, bahwa kehidupan keagamaan dari sayap politis, dan bukan tokoh lembaga-lembaga itu (sampai batas tertentu, kiranya proses rekayasa atas fusi partai politik Islam Indonesia telah dibuai oleh fatamorgana" informasi yang dipaparkan oleh media wilayah yang mayoritas didiami oleh warga NU yang notabene warga pedesaan-semisal Situbondo-menurut pendapat seorang teman melegitimasi kesimpulan sayap politis terus mendominasi ruang-ruang publik, suatu saat dikhawatirkan akan timbul Jakarta, kerusuhan antara keduanya, adalah suatu kondisi adanya "standar ganda". Maksudnya, orang-orang Kristiani maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normatif untuk lain adalah hanya konstruksi manusia. Atau, mungkin juga berasal dari Tuhan, tetapi telah dirusak, dipalsukan oleh ulah manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi Indonesia sepanjang hampir 500 tahun. memberikan pemaknaan atas hidup manusia dan harapan, tetapi dalam kenyataannya, juga harus bersentuhan dengan berbagai persoalan seperti doktrin, struktur kelembagaan, dan seterusnya, yang menjadikan dengan berbagai persoalan sosial-politik. Globalisasi dengan berbagai eksesnya, seperti konsumerisme, hedonisme, promis-kuitas, "mendorong banyak pengikut mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

pencitraan Islam di mata global