UPAYA TEOLOGIS DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
Lepas dari usaha-usaha teologis untuk membangun hubungan Kristen-Islam yang lebih baik, dari sudut sosialnya perlu dikembangkan bersama paham pluralisme. Dalam mengembangkan ini, kita mengenal dua adagium yang membenarkan usaha membangun hubungan antar-agama, yaitu, pertama, menuntut pemahaman yang benar mengenai keberadaan agama lain, dan kedua, komitmen kepada iman sendiri. Perpaduan kedua hal ini menjadikan kita seorang beragama yang terbuka dan memang seperti adagium yang ketiga, beragama secara sosial, berarti antar-agama. Maka, ketiga adagium ini menjadi dasar untuk usaha pluralisme.
Nurcholish Madjid pernah mengemukakan, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai "kebaikan negatif", hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban". Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan di antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. "Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam" (Q 2:251). Jadi, pluralisme adalah bagian dari keimanan yang paling inti.
Ada enam hal yang sangat berharga yang disarankan Aritonang: pertama, agar umat Kristen dan Islam berlomba-lomba mengungkapkan keberagamaannya secara kontekstual dan tidak terus-menerus mengikatkan diri secara kaku dengan tradisi dan warisan, entah dari Barat atau Timur Tengah. Kedua, agar kedua umat, Kristen dan Islam, terus membangun kesediaan untuk mengakui keterbatasan masing-masing dalam hal agama, bahkan dalam memahami wahyu, firman, dan kehendak Tuhan. Dengan demikian, bisa membebaskan diri dari sikap mutlak-mutlakan. Ketiga, agar umat Kristen dan Islam tidak terus-menerus membenarkan diri dalam setiap permasalahan. Masing-masing pihak diharapkan bersedia mendengar dan memahami permasalahan, pemikiran, dan perasaan partner dialog. Keempat, agar umat Kristen dan Islam bersedia memperkuat komitmen untuk melanjutkan dialog secara mandiri, dan karena itu tidak perlu bergantung pada pemerintah, yang pada masa lalu sering kali terasa berlebihan. Kelima, agar umat Kristen dan Islam bersedia secara bersama-sama melihat keadaan dan permasalahan bangsa ini. Dan keenam, agar umat Kristen dan Islam bersedia belajar terus-menerus dari sejarah—termasuk hal-hal yang pahit dan kurang menyenangkan, dan dari kesalahan yang dilakukan pada masa lalu.
Aritonang menutup bukunya dengan mengingatkan, "Hanya dengan mengakui dan mengenang kompleksitas masa yang telah lewat, kita bisa menghadapi problem hari ini dengan cara saksama dan dengan rendah hati". Hubungan Kristen-Islam memang memerlukan toleransi yang sejati. (Budhy Munawar-Rachman) Direktur Project on Pluralism Center for Spirituality and Leadership/Pengajar Sejarah Agama-agama pada Universitas Paramadina serta Filsafat Islam pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Mungkinkah Merebak Lagi Konflik
Bertepatan dengan peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April 2004, rangkaian konflik komunal kembali membakar kota Ambon. Pecahnya konflik baru ini mengakhiri suasana damai yang telah terbangun sejak penghujung 2002. Bahkan, sebenarnya, sejak akhir 2001 hampir tak ada lagi konflik besar antara kedua komunitas. Seperti dicatat oleh laporan International Crisis Group (2002), sejak akhir 2001 pola konflik di Maluku bersalin rupa: dari konflik dua komunitas menjadi rangkaian bentuk teror, semisal peledakan bom dan ranjau, penyerangan mendadak terhadap suatu komunitas, serta penembakan misterius oleh penembak gelap.
Kondisi keamanan membaik secara berarti sejak pertengahan 2002 setelah investigasi polisi berhasil menyingkap keterkaitan sekelompok anggota geng Coker pimpinan Berty Loupatty dengan sejumlah aparat keamanan dari Kopassus (Tempo edisi 13 Januari 2003). Hasil investigasi itu berhasil menyingkap sejumlah teka-teki peristiwa terror yang terjadi sebelumnya.
Kondisi keamanan di Ambon terus membaik, terutama setelah dilangsungkannya pemilihan Gubernur Maluku pada 16 Agustus 2003, yang sebelumnya selalu dibayang-bayangi kecemasan akan rusuh sehingga beberapa kali ditunda. Puncaknya terjadi pada Maret-April lalu: pelaksanaan kampanye Pemilu 2004 berlangsung dengan relatif aman dan damai. Di Ambon saya menyaksikan massa berpawai dengan bergairah, namun tanpa rusuh dan tanpa darah tertumpah. Namun, peristiwa kerusuhan 25 April 2004 menunjukkan bahwa tragedi kekerasan sosial yang terjadi sejak 19 Januari 1999 hingga pertengahan 2002 masih meninggalkan luka-luka sosial yang mendalam di Ambon. Mengapa damai masih rapuh dan getas di Ambon? Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan.
Pertama, konflik komunal yang terjadi sejak 19 Januari 1999 telah menghasilkan terjadinya segregasi komunitas di pulau Ambon: ada "daerah Islam", ada "daerah Kristen". Segregasi komunitas berdasarkan agama sebenarnya merupakan salah satu warisan era kolonial, sehingga kemudian terbentuk "Negeri Salam" dan "Negeri Sarani". Pemukiman campuran (Islam-Kristen) yang mulai tumbuh dan berkembang terutama sejak 1970-an kini hilang, dan setelah konflik orang kembali kepada pemukiman berdasarkan agama masing-masing. Bahkan sejumlah asrama militer di Ambon masih ditempati oleh aparat dari agama tertentu secara terpisah . Kedua, masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Ambon. Hal ini diperburuk dengan banyaknya pengungsi yang belum kembali ke daerah asal.
Ketiga, masih banyaknya senjata (baik rakitan maupun standar militer) yang masih dimiliki secara ilegal oleh masyarakat. Diperkirakan masih ada sekitar 500 pucuk senjata dan ribuan peluru organik militer yang beredar secara ilegal di masyarakat dan ratusan lain senjata dan bom rakitan. Fakta ini membuat potensi kekerasan semakin besar di kota Ambon.
Keempat, masih adanya kelompok "garis keras" dalam dua komunitas tersebut. Dalam komunitas Kristen, kelompok ini sebagian besar berafiliasi kepada Forum Kedaulatan Maluku yang merupakan penerus gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Di komunitas Islam, kelompok ini sebagian besar tergabung dalam kelompok-kelompok laskar yang berafiliasi kepada (dulu) Laskar Jihad dan kelompok sejenisnya. Identifikasi adanya kelompok "garis keras" ini terutama terjadi menjelang perundingan damai Malino II pada Februari 2002, ketika kelompok-kelompok tersebut menolak datang ke meja perdamaian.
Kelima, masih adanya kelompok "garis keras" di kalangan aparat keamanan. Yang dimaksud adalah (1) mereka yang percaya bahwa pendekatan militer merupakan modus terbaik dalam penanganan konflik di Ambon, khususnya yang terkait dengan isu separatisme, (2) mereka yang berupaya untuk meneruskan eksistensi dan peran besar aparat keamanan dalam situasi pascakonflik, (3) mereka yang terlibat dan bersikap partisan selama konflik namun tidak mendapat hukuman. Munculnya fenomena penembak gelap dalam konflik mutakhir ditengarai merupakan bagian dari ulah kelompok ini.
Lanskap sosial politik pascakonflik seperti inilah, antara lain, yang membuat kondisi damai di Ambon masih getas. Setiap ikhtiar membangun perdamaian yang langgeng di Ambon maupun Maluku pada umumnya harus menyentuh faktor-faktor kerentanan sosial tersebut secara cermat, seksama, dan serius. Jika tidak, kita masih akan menghadapi peristiwa-peristiwa kekerasan serupa di masa-masa mendatang. Dengan bacaan semacam itu, kita meletakkan peringatan hari ulang tahun RMS sebagai event pemicu belaka, yang di saat lain bisa dilakukan oleh aktor dan faktor yang lain. Meningkatnya eskalasi politik di tingkat pusat, misalnya, bukan mustahil meluberkan amunisi kompetisi dan perseteruannya ke jazirah para raja itu.
Ketika berada di Ambon pada masa kampanye pemilu lalu, penulis mendapat cerita dari seorang mantan aktivis yang sekarang bekerja di pemerintahan. Menurut dia, waktu itu banyak terlihat wajah-wajah baru preman berkeliaran di kota Ambon. Menurut info yang didapatnya, para preman itu tidak bergerak untuk kepentingan pemilu legislatif, melainkan kepentingan pemilihan presiden. Alasannya, pemilu legislatif merupakan ajang politik yang menjadi agenda dan pertaruhan utama para elite lokal untuk melakukan sirkulasi politik, sehingga mereka berkepentingan untuk mengamankan dan mensukseskannya. Sedangkan pemilihan presiden lebih merupakan agenda dan pertaruhan elite politik di Jakarta. Ia menyebut nama seorang kandidat presiden yang ditengarai berada di belakang kehadiran para preman itu.
Pemilu legislatif kemudian memang berlangsung aman di Ambon. Prahara terjadi genap 20 hari setelah pencoblosan dilangsungkan. Saya tidak tahu apakah ramalan politik yang dituturkan sang teman itulah yang kini sedang terjadi di Ambon. Untuk sampai pada suatu konsep conflict resolution yang memadai, perlu adanya pengkajian lebih jauh atas sisi lain dari konflik itu sendiri, selain kajian atas peran orang-orang Jakarta seperti yang dibahas Aditjondro. Jika Aditjondro menelaah latar belakang konflik yang ada dengan memakai spektrum Jakarta untuk memetakan andil Islam, Islam fundamentalis (aliran Wahabi), tentara dan tentara hijau kelompok Kristen, _Coker_ dll. dalam konflik di Maluku, tulisan ini mencoba membuka perspektif lain, yang sebaliknya, dengan memakai spektrum setting politik di Maluku yang sarat muatan konflik politik (baca: SARA),
sebagai sebuah catatan tambahan untuk memahami latar belakang konflik Maluku saat ini. Sebagai sebuah annotasi tulisan ini lebih berniat memperkaya wawasan kita untuk memahami realitas konflik Maluku dan latar belakangnya, dan tidak ada niat untuk membuat justifikasi atas peran atau pendapat pihak tertentu, apalagi melakukan keberpihakan dalam analisis. Suatu keberpihakan dalam analisis tidak akan menolong apa-apa menuju conflict resolution yang menyeluruh, mamadai dan memuaskan.
Stigma RMS dan nasionalisme Maluku
Kasak-kusuk politik di Maluku di akhir tahun 70-an hingga akhir 80-an ditandai persaingan dan ketidak puasan kelompok agama yang satu terhadap kelompok agama yang lain (Islam dan Kristen Protestan) dalam persaingan
menempatkan orang-orang mereka di pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Universitas Pattimura. Kasak-kusuk itu bahkan menyebut secara jelas persaingan dua kubu yang berasal dari dua marga/kampung di pulau Saparua untuk menduduki tempat-tempat strategis dalam pemerintahan. Konon, kedua kubu tersebut mengadakan kaderisasi dan proyeksi penguasaan infra dan suprastruktur politik di Maluku dua puluh hingga lima puluh tahun ke depan. Pos-pos yang menjadi incaran adalah posisi Gubernur, ketua Bapeda, Ketua DPR dan rektor universitas Pattimura. Kebenaran isu dan kasak-kusuk tersebut, secara hypotesis, perlu diuji dengan meneliti kembali bentuk-bentuk konsesi politik berupa pembagian jabatan (baca: distribusi kekuasaan) baik pada bidang eksekutif maupun legislatif pada saat itu sebuah bentuk konsesi yang menyimpan potensi konflik tetapi relatif terkendali, setidaknya sampai dengan datangnya pengaruh proyek penghijauan birokrasi oleh jaringan ICMI Jakarta yang memberi angin buritan kepada kelompok Islam di Maluku untuk terus berada di atas angin. Ketika Jakarta mencium manuver kedua kubu tersebut dan berkesimpulan bahwa iklim konflik itu tidak kondusif bagi kelangsungan pembangunan dan bakal merupakan benih pembangkangan daerah terhadap kepentingan politik dan ekonomi Jakarta, maka Jakarta memporak-porandakan berbagai manuver tersebut dengan melakukan strategi dropping: dropping gubernur (Sukoso dari korps baret merah dan mantan Pandam Pattimura sebelum dilikuidasi oleh Murdani), dropping sejumlah Kakanwil (a.l. penerangan, sosial, telkom, etc.) yang semuanya berasal dari kelompok agama yang tidak terlibat konflik (Katolik). Bahkan ketika Rektor Universitas Pattimura, Dr. Lawalatta, meninggal dunia, tersiar berita bahwa kedua kubu yang bersaing (Islam dan Protestan) pagi berikutnya saling ketemu di ruang tamu Mendikbud berlomba hendak bertemu Menteri untuk membicarakan calon rektor. Konon Jakarta berniat melakukan praktek dropping untuk membuyarkan persaingan tersebut dengan mengirim seorang calon rektor dari UGM yang tidak berasal dari rumpun agama kedua kelompok yang bersaing. Bahkan agama _calon_ rektor tersebut sama dengan pejabat-pejabat dropping di atas. Maka di kalangan GPM (Gereja Protestan Maluku) muncul ungkapan sinis: _sebentar lagi ketua Synode GPM juga akan didroping dari kelompok agama orang-orang dropping itu_.Strategi dropping tersebut, dalam batas-batas tertentu mampu mempengaruhi wacana politik di Maluku. Kedua kelompok yang bersaing lebih suka berbicara tentang _penjajahan al_a Jakarta_ ketimbang issu konflik klasik di antara mereka. Saat itu issu RMS bukan monopoli kelompok Kristen. Dalam berbagai forum (KNPI, seminar regional, etc.) pemuda Maluku, baik dari kelompok Islam maupun Kristen, dengan telanjang sama-sama menunjuk praktek dropping tersebut sebagai bentuk intervensi politik lokal oleh penguasa di
Jakarta dengan memakai stigma RMS. Stigma RMS pada waktu itu menjadi _milik_ kedua kelompok dan merupakan benih kebencian daerah terhadap pusat. _Kapan anak Maluku bisa berkembang kalau selalu dimatikan dengan stigma politik RMS?_, demikian keluhan bersama saat itu. Jadi kalau di kemudian hari stigma RMS itu diberikan hanya kepada kelompok Kristen saja (dalam conflict setting hari ini), hal ini merupakan suatu strategi manipulatif pihak luar untuk menarik garis demarkasi konflik menurut kepentingan pencipta stigmata!
Berdirinya Provinsi Maluku Utara setelah pecahnya konflik pertama di Ambon di satu sisi membebaskan kelompok politik Islam Maluku Utara dari persaingan tak berujung dengan sesama kelompok politik Islam Maluku Tengah untuk lahan politik Maluku secara keseluruhan. Di sisi lain, keluarnya Islam Maluku Utara dari arena politik Maluku secara drastis telah merobah konstelasi peta politik Maluku: Islam dan Kristen (Protestan) yang tadinya berada pada posisi fifty-fifty tiba-tiba menjadi tidak berimbang secara mengkhawatirkan. Satu-satunya sumbangan yang memperkuat konstituent basis politik Islam Maluku (Tengah) secara demografis justru dibentuk oleh Islam BBM (Buton, Bugis dan Makassar). Suku BBM yang sudah lama secara sosial tidak terlalu diperhitungkan (bahkan diremehkan) tetapi secara politik kini justru tiba-tiba naik nilai bargainingnya. Percaturan politik di Maluku pasca terbentuknya provinsi Maluku Utara menempatkan kelompok BBM sebagai konstituent dan faktor yang sangat diperhitungkan dalam memproyeksi konstalasi politik Maluku ke depan, terutama menjelang pemilihan umum. Suatu kejujuran akademis untuk meneliti korelasi antara _dijadikannya kelompok BBM sebagai target group kerusuhan pertama di Ambon dengan proyeksi politik ke depan di Maluku Tengah, haruslah mampu untuk menolong semua pihak untuk memilah konflik kepentingan politik dengan peperangan sia-sia yang mengorbankan sekian banyak manusia tak bersalah di kedua belah pihak. Data penelitian tentang sebaran kelompok BBM di pulau Ambon yang membentuk segmen Schattenwirtschaft terpenting bagi kehidupan kota Ambon perlu dibaca ulang sebagai kesadaran ketidak-seimbangan demografis yang memiliki wajah yang tidak ramah (ancaman), setidaknya dalam hal bagaimana memandang realitas itu.
Apa manfaat analisis di atas? Mungkin tidak banyak! Karena hakekat konflik sebagaimana diuraikan di atas telah bergeser. Kelompok-kelompok bertikai di Maluku sebenarnya tinggal sisa-sisanya saja. Mereka sudah kehabisan
energi dan telah menemukan makna kesia-siaan konflik berkepanjangan tersebut. Konflik tersebut kini milik orang Jakarta, proyek orang-orang di pusat dengan meminjam lapangan bermain di Maluku. Lapangan itu bisa bernama Poso, Sampit, Irian, Aceh, Timor Timur atau apa saja. Sebentar lagi akan berpindah ke kawasan lain, tergantung selera para perancang konflik. Siapakah orang-orang pusat tersebut? Tulisan Georg Junus Aditjondro telah mengungkap sebagian!
Bulan Februari awal tahun ini saya berada di Maluku bersama The Go-East Institut untuk acara dialog nasional mencari celah conflict resolution dengan mengangkat kekuatan budaya lokal, pranata adat sebagai salah satu alternatif conflict resolution. Harapan dan keinginan untuk segera keluar dari konflik sangat kuat, tetapi ketidak percayaan, pesimisme, bahkan kecurigaan yang bermuatan dendam tidak mudah dilupakan. Yang hancur bukan saja Maluku secara fisik, tetapi terutama kepercayaan akan keikhlasan untuk berdamai dan mengakhiri konflik. Siapa yang bisa memulihkan kepercayaan itu?.
Konflik yang melanda kepulauan Maluku yang terjadi secara massif dan berkepanjangan ini dilatarbelakangai oleh berbagai faktor yang tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Penjelasan berikut mencoba menguraikan beberapa faktor utama yang melatarbelakangi konflik Maluku. Penjelasan berikut juga akan memberikan gambaran bahwa struktur sosial masyarakat di kepulauan Maluku sesungguhnya telah lama menyimpan potensi konflik yang selama ini bersifat laten yang kemudian terekspresi dalam berbagai bentuk tindak kekerasan secara frontal dan massif.
B. Faktor Perubahan Komposisi Penduduk dan Kesenjangan Sosial Ekonomi
Secara sekilas telah disampaikan pada bagian terdahulu bahwa penduduk Maluku (sebelum dimekarkan) dalam satu dekade terakhir memperlihatkan perubahan komposisi yang berarti. Berdasarkan identitas etnis, penduduk di Maluku khususnya di Pulau Ambon sebagai Ibukota Provinsi Maluku dihuni oleh berbagai macam etnis dan agama. Selain didiami subetnis Maluku, berbagai wilayah di kepulauan Maluku juga menerima banyak pendatang dari luar, yakni suku Bugis, Buton, Maksssar, Jawa, dan Sumatera. Tabel 4.1 berikut ini menunjukkan perkembangan penduduk Maluku menurut perkembangan kelompok agamanya.
Selain itu, bila dilihat komposisi penduduk di Maluku menurut pengelompokan etnisnya, penduduk asli bukan Maluku terus bertambah. Berdasarkan analisis data sensus 1971 dan Supas 1995, kelahiran penduduk bukan asli Maluku meningkat dari 5,2 persen tahun 1971 menjadi 14,1 persen pada 1995. Dari data ini, perkembangan jumlah migran yang beretnis Bugis, Buton, dan Makassar mengalami peningkatan yang sangat berarti. Pada tahun 1971 jumlah imigran dari ketiga suku ini sekitar 17,710 atau 1,6 persen dari jumlah penduduk seluruh Provinsi Maluku. Pada tahun 1995, jumlah mereka meningkat menjadi 77,090 atau mencapai 3,7 persen. Seiring dengan meningkatnya arus migran ke Maluku, komposisi penduduk menunjukkan perubahanperubahan penting. Perbandingan data Sensus 1971 dengan Supas 1985, terlihat bahwa penduduk beragama Islam di Provinsi Maluku (sebelum dimekarkan) meningkat dari 49,9 persen pada tahun 1971 menjadi 54,8 persen pada tahun 1980. Sebaliknya jumlah penduduk beragama Kristen turun dari 46,8 persen pada 1971 menjadi 44,1 persen pada tahun 1980. Berdasarkan perkembangan komposisi penduduk menurut etnis dan agama ini, dapat dinyatakan bahwa jumlah antara penduduk beragama Islam dan Kristen mengalami perubahan, dimana penduduk beragama Islam mengalami peningkatan jumlah dibanding penduduk beragama Kristen. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk migran dari Bugis, Buton, Makassar yang mayoritas beragama Islam ini juga membawa konsekuensi pada berbagai aspek sosial ekonomi di Maluku yang kemudian berdampak pada menurunnya kerukunan hubungan sosial masyarakat. Faktor-faktor sejarah seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu juga membentuk pola persebaran permukiman penduduk yang terbagi berdasarkan kelompok agama. Persebaran permukiman berdasarkan kelompok agamanya di Maluku.
Jumlah Penduduk Maluku tahun 1993 adalah 1.898.217 Jiwa Sejalan dengan arus migrasi yang terus meningkat dan persebaran permukiman penduduk berdasarkan kelompok agamanya, secara sosial ekonomi terjadi semacam spesialisasi kerja berdasarkan agama dan etnis, terutama di Pulau Ambon, antara penduduk asli Ambon dengan para migran Bugis, Buton, Makassar. Hal ini kemudian memunculkan pembagian lapisan sosial baru antara yang menguasai sektor perdagangan atau disebut ‘anak dagang’, yang umumnya merupakan warga pendatang sedangkan warga asli disebut sebagai ‘anak negeri’ yang umumnya bermata pencaharian di birokrasi atau sektor jasa. Walaupun telah lama telah bermukim di kepulauan Maluku, proses adaptasi kultural antara ‘anak negeri’ dan ‘anak dagang’ kurang berjalan mulus. Hal ini disebabkan karena, selain ada perbedaan secara agama dan etnis, juga adanya pembagian kerja ekonomi. Lebih jauh lagi, persaingan antara penduduk migran dan asli yang note bene berbeda agama, dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik berlangsung begitu dinamis. Secara alamiah pembagian mata pencaharian di bidang ekonomi terutama sektor pertanian dan sektor transportasi banyak dikuasai oleh kaum pendatang dari Bugis, Buton dan Makassar sedangkan penduduk asli Maluku, terutama di Kota Ambon, umumnya menempati posisi di birokrasi pendidikan dan sektor jasa.
Dikotomi Islam-Kristen serta perubahan komposisi penduduk di Ambon juga dipertajam oleh parameter kultural berupa perbedaan dalam gaya hidup (life style), tingkat pendidikan, dan parameter-parameter kultural lain pada kedua kelompok masyarakat tersebut yang sebetulnya telah terbentuk lama sejak masa kolonialisme. Warga Maluku yang beragama Kristen umumnya dikenal bermental ‘ambtenaar’, yang rata-rata mendominasi sektor pemerintahan dan pendidikan di Ambon sementara warga Islam dikenal sebagai pekerja keras yang mendominasi sektor perekonomian. Secara demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan komposisi penduduk ini merupakan salah satu faktor yang ikut menyumbang munculnya ketegangan sosial antara kedua komunitas beda agama.
C. Implikasi Pembangunan
Selama masa pemerintahan orde baru hubungan pusat-daerah dan mekanisme pembangunan yang cenderung tersentralisasi merupakan salah satu faktor yang turut menghambat terciptanya keadilan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Disisi lain, pemberlakuan kebijakan pembangunan yang terkesan terpusat seringkali mengakibatkan terjadinya marginalisasi dan melemahnya kebhinekaan masyarakat. Sehingga ketika terjadi pergeseran orientasi kebijakan nasional, kondisi sosial di daerah ikut terpengaruh karena adanya disorentasi dan merosotnya legitimasi pemerintah dihadapan masyarakat. Pengaruh negatif akibat pergeseran orientasi kebijakan nasional tersebut berupa konflik, baik yang bersifat politis-vertikal maupun sosial-horisontal di sejumlah daerah. Dapat dicatat daerah-daerah yang mengalami ekskalasi konflik secara signifikan adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah, serta Maluku dan Maluku Utara. Berbeda dengan di Aceh dan Papua, konflik di kepulauan Maluku pada awalnya lebih merupakan konflik sosial-horisontal yang bernuansa SARA. Dalam perkembangannya, konflik di Maluku semakin kompleks dan bersifat campuran, yakni berdimensi sosial-horisontal dan politik-vertikal. Pada yang terakhir ini tercermin dari menguatnya kembali gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang dimotori oleh Forum Kedaulatan Maluku (FKM).
Walaupun konflik di berbagai daerah menunjukkan sifat dan dinamika yang bervariasi antara satu dengan yang lainnya, namun akar permasalahan dari konflik yang terjadi di kepulauan Maluku pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan akar persoalan yang terjadi di Aceh dan Papua, yakni ekspresi dari akumulasi persoalan yang bersumber dari sentralisme pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang menempatkan daerah sebagaisubordinasi kekuasaan sentralistik pemerintah pusat. Pembangunan nasional yang menekankan pertumbuhan ekonomi (economic growth) melalui intervensi kebijakan pemerintah pusat seringkali kurang memperhitungkan heterogenitas budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat setempat. Mekanisme sosial-budaya tradisional yang seyogyanya merupakan suatu social capital dalam pelaksanaan pembangunan menjadi terpinggirkan oleh kegiatan pembangunan dan berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, masalah-masalah yang timbul akibat peningkatan jumlah penduduk, terbatasnya kesempatan kerja dan pendidikan, cenderung tidak dapat diatasi oleh mekanisme sosial-budaya (adat) setempat karena pranatapranata sosial budaya lokal yang ada terlanjur melemah akibat intervensi kebijakan dan regulasi yang terkesan sentralistik. Dalam hal kebijakan pemerintahan, pemberlakuan Undangundang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa mengakibatkan terjadinya penyeragaman pemerintahan desayang selanjutnya mengkooptasi sebagian besar elite lokal dalam struktur hegemonik negara. Dengan diberlakukannya UU ini, sistem pemerintahan adat di desa-desa di Maluku, dan peran elite tradisional lokal (raja-raja dan Saniri Negeri di Maluku Tengah) digantikan oleh Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Kebijakan ini mengakibatkan melemahnya pranata sosial budaya masyarakat setempat beserta kearifan-kearifan budaya yang dimiliki masyarakat yang biasanya digunakan sebagai instrumen untuk mengharmoniskan dan menyelaraskan ketidakseimbangan sosial yang muncul sewaktu-waktu dalam masyarakat. Pada aras pemerintahan daerah, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah juga turut memunculkan sejumlah persoalan yang berakumulasi dengan persoalan lainnya yang bersama-sama menciptakan suatu situasi konflik yang terjadi secara berkepanjangan. Dalam merumuskan konsep dan kebijakan pembangunan daerah, kondisi wilayah Maluku yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang didominasi oleh lautan dan terdiri telah diakomodasikan oleh pemerintah daerah dengan merumuskan kebijakan pembangunan dan penataan ruang yang berbasis pada gugus pulau dan laut pulau. Pada kenyataannya, implementasi konsep yang telah dirumuskan secara baik ini perlu dievaluasi secara menyeluruh sehubungan dengan munculnya konflik sosial bernuansa SARA di kepulauan Maluku. Persoalannya, sejauh mana implementasi pembangunan di kepulauan Maluku selama ini dilakukan secara konsisten dengan konsep dan kebijakan pembangunan yang telah disusun. Bila diperhatikan dengan seksama, terlihat bahwa perkembangan pembangunan secara umum di kepulauan Maluku sangat terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan pesatnya pertumbuhan kota-kota, terutama Kota Ambon. Sejak awal tahun 1990-an, Kota Ambon merupakan salah satu kota di Kawasan Timur Indonesia yang merupakan tempat tujuan untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi oleh para pendatang dari luar daerah. Hal ini tercermin jelas dari peningkatan arus pendatang ke kota Ambon. Berdasarkan analisis data Sensus 1971 dan Supas 1995, kelahiran penduduk bukan asli Maluku meningkat dari 5,2 persen pada tahun 1971 menjadi 14,1 persen pada tahun 1995 (Supas, 1995). Dengan land base yang relatif terbatas, Kota Ambon menerima beban yang besar akibat imigrasi penduduk tersebut. Sementara itu, kegiatan ekonomi perdesaan di kepulauan Maluku kurang berkembang baik. Akibatnya mobilitas penduduk di kepulauan Maluku cenderung bergerak ke kota, terutama ke Ambon sebagai ibukota Provinsi. Dalam kaitan ini, dinamika hubungan sosial masyarakat seringkali menimbulkan ketegangan-ketegangan terutama berdasarkan motif-motif persaingan ekonomi antara kelompok masyarakat pendatang dan masyarakat asli Ambon.
Khususnya di Kota Ambon, sebagian besar penduduk bekerja sebagai pedagang dan pekerja di sektor jasa. Sumber ekonomi Kota Ambon secara umum sangat bergantung dari proyek-proyek pembangunan dan kegiatan ekonomi swasta nasional. Sebagai ilustrasi, pada awal tahun 1990-an pendapatan asli daerah Maluku rata-rata sekitar 19,4 persen bergantung pada bangunan infrastruktur di sektor swasta nasional. Kondisi ini menyiratkan adanya kelangkaan kesempatan kerja, sementara dengan tingkat imigrasi penduduk luar daerah yang cukup tinggi terjadi persaingan-pesaingan antara penduduk asli dan pendatang untuk memperoleh kesempatan kerja dan berusaha di Maluku.
Persoalan ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja merupakan fenomena yang terjadi diberbagi daerah. Di kepulauan Maluku, persoalan ini merupakan salah satu persoalan yang sangat mendesak seiring dengan kemajuan pembangunan yang dilaksanakan, terlebih lagi dengan orientasi sosial kebanyakan masyarakat di kepulauan Maluku yang cenderung lebih tertarik memilih pekerjaan sebagai ‘pegawai’ daripada berusaha di sektor swasta. Menurut keterangan Kakanwil Departemen Tenaga Kerja Maluku, pada tahun 1996 jumlah pengangguran di Maluku (sebelum dimekarkan) tercatat sebesar 34.629 orang. Angka ini adalah jumlah yang terdatakan oleh Kantor Kanwil Depnaker Maluku dan belum ditambah dengan pencari kerja yang tidak mendatakan diri di Kantor Kanwil Depnaker Maluku. Selain itu, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, di Kota Ambon juga terjadi lonjakan angka pengangguran. Terlebih lagi sebagian besar penduduk Ambon adalah angkatan kerja usia muda. Fakta ini merupakan salah satu faktor penting yang turut menyumbang pada munculnya anarkisme sosial di kepulauan Maluku. Sementara itu, dalam tubuh birokrasi pemerintah daerah disinyalir terjadi kompetisi kurang sehat dalam rekruitmen dan penempatan personil pada jabatan-jabatan yang dipandang strategis yang terutama dikaitkan dengan identitas agama. Kompetisi ini dapat dikatakan merupakan refleksi dari dinamika sosio historis masyarakat kepulauan Maluku yang terbelah berdasarkan komunitas agama. Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, akibat kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial struktur sosial masyarakat di kepulauan Maluku tersegregasi berdasarkan parameter agama. Dalam perjalanannya, setidaknya sejak akhir era 1980-an kesempatan penduduk asli beragama Islam lebih terbuka untuk melakukan mobilisasi vertikal di birokrasi pemerintahan daerah. Mobilitas yang berlangsung secara alamiah ini dipandang mengancam eksistensi komunitas masyarakat tertentu yang telah lama mapan dalam struktur pemerintahan lokal. Bahkan muncul sinyalemen kuat adanya dominasi kelompok subetnis tertentu yakni komunitas penduduk muslim dari desa Ori, Pelau, Kailolo (yang populer dengan istilah ‘OPEK’) yang sebagian besar menempati posisi strategis di birokrasi daerah. Perkembangan ini memunculkan anggapan adanya aktivitas politik sekelompok komunitas masyarakat tertentu dalam tubuh pemerintahan daerah dengan tujuan mendominasi jabatan-jabatan strategis daerah, yang kemudian berimbas kepada semakin mempertajam ketegangan dan disharmoni sosial dalam masyarakat.
Mencairnya segregasi-segregasi wilayah mendorong bertumbuhnya interaksi social dantara kedua komunitas. Bila kita memasuki pasar para pedagang Muslim yang terletak di daerah terminal Belakang Kota, maka kita akan menemukan banyak pembeli Kristen yang datang berbelanja disana. Tanpa sungkan banyak diantara mereka mereka terlihat saling menyapa dan menyebut nama, serta melangsungkan proses tawar menawar sebagai tanda mereka telah saling mengenal. Biasanya bila subuh hari ketika pasar itu mulai dibuka, kita akan menemukan banyak ibu-ibu penjual yg beragama Kristen memborong belanjaan disitu, untuk kemudian menjualnya kembali pada berbagai pasar kaget di wilayah Kristen. Interaksi sejenis terlihat dalam tampakan yang lebih dinamis pada pasar kaget pedagang Muslim di depan Rumah Sakit Tentara. Interaksi di wilayah itu terutama diramaikan oleh para mahasiswa Kristen dan Muslim yang bersekolah di kampus alternative Unpatti. Selain interaksi pasar maka berbagai meeting point bisa juga ditemukan dengan mudah di berbagai wilayah kota Ambon. Hotel-hotel seperti Mutiara, Amboina, Manise, maupun Amans, telah menjadi tempat pertemuan bagi kedua komunitas. Umumnya di berbagai hotel tersebut terjadi interaksi kedua komunitas dari segmen masyarakat menengah ke atas. SalahSatu bentuk interaksi lainnya terjadi melalui kegiatan berburu. Sebagaimana diketahui selama konflik berlangsung populasi babi hutan telah bertumbuh pesat di wilayah-wilayah petuanan negeri-negeri Muslim. Negeri-negeri di jazirah Leihitu misalnya telah cukup kewalahan untuk menangani hama kebun yang sangat merusak ini. Makanya di tengah situasi yang semakin kondusif ini, dengan terbuka mereka meminta aparat bersama saudara-saudara Kristen lainnya mendatangi wilayah mereka untuk berburu babi hutan.Tentunya tawaran itu disambut gembira, mengingat harga kiloan babi hutan yang cukup tinggi di komunitas Kristen. Banyak regu berburu lalu memasuki petuanan hutan negeri-negeri Muslim saat ini. Baik yang berada di Pulau Ambon, maupun di Pulau Seram, Kelang dll. Hal menarik ketika Masariku Network Ambon mendatangi daerah Leihitu untuk berburu babi hutan, secara tak sengaja kami menjumpai lima anak asal negeri Ouw yang ternyata telah menginap di negeri Seith selama seminggu. Sebagaimana diketahui kedua negeri adapt ini terikat dalam suatu hubungan gandong yang cukup erat. Karena itu kedatangan para pemuda negeri Ouw (yang ternyata bisa berbahasa Seith) disambut disitu sebagai seorang saudara sekandung, berdasarkan garis histories hubungan leluhur mereka. Selain berbagai bentuk interaksi spontan, maka kita temukan pula interaksi-interaksi yang terbangun melalui program bersama. Sore tadi Masariku Network Ambon terjebak di tengah kepadatan ribuan masa yang memadati lapangan segi tiga dan seputaran tugu Pattimura. Masa tumpah ruah bercampur untuk menyaksikan partai final putra pertandingan bola volley antara regu negeri Mahia melawan regu Maluku Tenggara. Sejak tujuh belas Agustus lalu, wilayah ini selalu dipadati pengunjung baik Muslim maupun Kristen untuk menonton dan sekaligus mendukung regu favoritnya yang bertanding. Tak jauh dari situ, tepatnya di negeri Batumerah terlihat 69 pemuda negeri Passo sedang bekerja membersihkan Masjid negeri Batumerah. Beberapa minggu lalu ternyata mereka telah melakukan pengecatan atap maupun bangunan Masjid. Bahkan kejadian peledakan bom terakhir di daerah Mardika, terjadi disaat mereka sedang bermandikan peluh mendandani Masjid Batumerah. Saat itu mereka tetap bekerja dan tak terusik, karena para pemuda Batumerah turut menemani mereka selama pekerjaan berlangsung. Sebaliknya dalam jumlah yang kurang lebih sama, para pemuda negeri Batumerah juga menginap di negeri Passo, dan melakukan kegiatan pembersihan dan pembangunan salah satu gereja di negeri yang terikat dalam hubungan Pela keras dengan mereka. Interaksi antar negeri adat dalam waktu yang kurang lebih sama juga berlangsung di salah satu ruang hotel Amans. Tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda dari sebagian daerah di wilayah Seram Barat berkumpul selama empat hari disitu, untuk membicarakan kelangsungan design bentuk-bentuk interaksi social yang sudah berlangsung pula disana. Masariku Network Ambon kebetulan berkesempatan untuk bercakap-cakap dengan beberapa diantara mereka. Antara lain pemuda dari negeri Piru, Loki, ataupun dari daerah Pelita Jaya. Dari mereka diperoleh informasi bahwa beberapa segregasi wilayah di daerah tersebut telah pula dibuka untuk kepentingan bersama. Selain interaksi antara berbagai negeri adapt, maka menarik pula diinformasikan bahwa saat ini tengah dijajaki suatu bentuk kerjasama serta kelembagaan bersama antara Sinode GPM yang dalam hal ini diwakili oleh Crisis Center GPM, bersama MUI Maluku dan BIMM. (bersambung)

 dikutip dari beberapa tulisan

Komentar

  1. rusuh unpatti, ada dalangnya?
    http://www.iainambon.wordpress.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

pencitraan Islam di mata global