WACANA ISLAM DAN GENDER


KESETARAAN GENDER PERSPEKTIF FEMINIS INDONESIA:
Kritik atas Epistemologi Feminis Nasaruddin Umar Dan Musdah Mulia

syamsul amal



A. Latar Belakang
Akhir abad kedua puluh muncul kesadaran yang tinggi bahwa selama ini telah banyak terjadi dan berlangsung diskriminasi dan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang menimpa kaum perempuan. Fenomena ketidakadilan gender itu paling tidak meliputi (1) marginalisasi perempuan baik di rumah  tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan; (2) subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa mereka suka dandan dan itu untuk menarik perhatian lawan jenis sehingga menimbulkan kekerasan seksual; (4) berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah; (5) pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab  itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya  perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.[1]
  Melihat fenomena seperti di atas,  maka muncullah para feminis yaitu mereka yang sadar akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat dan melakukan tindakan yang sadar untuk mengubahnya.[2] Beberapa di antaranya melacak munculnya ketidakadilan itu dari konstruksi teologis yang dibangun dan dibentuk selama ini atas status ontologis dari  perempuan.
Dialektika relasi gender dan feminisme semakin marak. Pro dan kontra terus berlangsung antara pendukung feminisme dan faham yang menolak gerakan kesetaraan gender ini. Perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah yang “membumi”, artinya, tidak saja menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun ideologis, namun lebih merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu.
Hambatan yang dihadapi ´feminisme´ bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga. Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang ´diperlakukan demikian,´ atau bahkan ikut mengembangkan perilaku ´maskulinisme´ dimana laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari ´pelecehan seksual´ banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan ´Miss´ ini dan ´Miss" itu, akibatnya usaha menghentikan yang dianggap ´pelecehan´itu terhalang oleh sikap sebagian kaum perempuan sendiri yang justru ´senang berbuat begitu.
Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai ´penguasa masyarakat,´ (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian.
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) masih mengundang pro dan kontra, bahkan penolakan dari beberapa kalangan. Padahal, upaya dalam mewujudkan KKG sudah merupakan kebijakan Negara Indonesia yang termaktub dalam Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Gender-Mainstreaming atau Pengarus-Utamaan Gender, yang disingkat dengan PUG. Kebijakan ini lahir dalam rangka menjawab persoalan ketidakadilan gender yang masih membelenggu setiap aspek kehidupan manusia.
Beberapa tahun sebelum lahirnya PUG, Indonesia dalam GBHN tahun 1993, telah mengadopsi nilai-nilai KKG. Yaitu, menggarisbawahi kebutuhan dan peningkatan peranan perempuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kepemimpinan dan pengambil keputusan, pekerja dan kebutuhan untuk melindungi pekerja perempuan, dan peranan penting mereka dalam hal kepemimpinan spiritual dalam masyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, dalam GBHN tahun 1999, menyatakan bahwa Pengarus-Utamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh Lembaga yang mampu mewujudkan KKG.
Bahkan 16 tahun sebelum itu, Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. Menekankan pada kesetaran dan keadilan (equality and equity) antara perempuan dan laki-laki, yaitu persamaan hak dan kesempatan serta perlakuan di segala bidang dan segala kegiatan. Adapun CEDAW yang lahir pada tahun 1979 itu, menyatakan secara tegas bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai perlakuan terlarang.[3]
Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang individu.

B. Permasalahan
 Dari paparan beberapa pokok-pokok pikiran latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Bagaimana perbandingan corak gagasan kesetaraan gender Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia? Kedua, Bagaimana epistemologi yang digunakan Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia.


C. Batasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi pada studi tentang keadilan gender dalam perspektif tokoh feminisme Indonesia Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia melalui artikel yang dipublish di blog dan situs, yang ditulis oleh keduanya. Lebih khusus penelitian ini juga dibatasi pada gagasan yang dilontarkan, epistemologi dan metode yang digunakan dalam menggagas pikiran keduanya.


D. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan khususnya penelitian dibidang kesetaraan gender di masa-masa mendatang antara lain: pertama, memberikan gambaran secara metodologis dan epistemologis yang digunakan oleh Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia. Kedua,  memberikan kontribusi bagi kerangka penelitian yang menjadikan objek penelitian artikel-artike di Internet. Ketiga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi metodologis bagi wacana dan dialektika kesetaraan gender yang telah menglobal.

E. Kajian Riset Sebelumnya
Beragam penelitian berkaitan dengan gender dan feminisme, namun penelitian dengan tema seperti tema penelitian ini sejauh ini belum peneliti temukan. Kecenderungan tema yang diangkat adalah berangkat dari dasar bahwa riset social dan budaya yang selama ini dilakukan oleh para peneliti pria cenderung memarginalkan peran perempuan. Sehingga perlu dilakukan suatu penelitian yang akan memperlihat-kan kepada dunia tentang keberadaan perempuan.
Masih terlalu sedikit penelitian yang dilakukan perempuan tentang perempuan yang memberikan hasil positip bagi perempuan. Kebanyakan justru memberikan hasil yang sangat negatip bagi perempuan. Di bidang bahasa, misalnya, banyak orang, termasuk para ahli linguistik feminis, menyudutkan perempuan karena tergesa membuat kesimpulan bahwa praktek berbahasa perempuan tidak standard dan buruk. Seperti kita lihat dari hasil penelitian Lakoff dan Kramer.
Ada satu contoh berbeda yakni penelitian feminis yang dilakukan oleh Dale Spender (1986) di bidang sastra. Spender melakukan penelitian tentang asal mula tradisi penulisan novel Inggris. Ia, seperti halnya kritikus sastra lainnya, berasumsi bahwa perintis novel Inggris adalah para pengarang laki-laki. Pada awal risetnya, Dale Spender dipengaruhi oleh anggapan bahwa sebelum Jane Austen tidak pernah ana novelis perempuan. Perlu diketahui bahwa sejarah tentang penulis novel Inggris banyak dipengaruhi oleh tulisan Ian Watt, The Rise of the Novel. Watt hanya memfokuskan pengamatannya pada para penulis pria saja sehingga tradisi penulisan novel seolah-olah hanya dirintis oleh para penulis pria.  Tidak mengherankan bahwa Dale Spenderpun juga memfokuskan penelitiannya kepada novel-novel yang ditulis perempuan sejak tahun 1800an, yakni ketika novel Sense and Sensibility (1811) ditulis. Namun ketika ia tengah menjalani proses penelitian, Spender berubah pikiran karena ia telah menemukan 100 novelis perempuan yang menulis karya jauh sebelum tahun 1800, tepatnya tahun 1600an. Karya-karya mereka tersisih tak dikenal. Penemuannya ini memberikan petunjuk bahwa kesuksesan Jane Austen tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi penulisan novel yang telah dirintis oleh para penulis perempuan jauh sebelum Jane Austen sendiri menulis karyanya.
Penelitian seperti yang dilakukan oleh Spender ini bagaikan membuka tabir dari sebuah realita, atau membongkar harta karun milik perempuan yang terkubut. Penelitian seperti ini sungguh sangat penting untuk melengkapi gap yang telah diciptakan oleh para peneliti terdahulu yang sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bias gender.
Ada beberapa sebab mengapa peneliti perempuan gagal menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi perempuan. Pertama, karena mereka masih memakai ukuran dan norma penelitian tradisional yang cenderung “sexis” atau bias gender. Kenyataan ini nampaknya cukup rasional karena guru dan supervisor mereka adalah para peneliti/pakar laki-laki.  Kedua, mereka belum mampu secara konsisten menggunakan perspektip perempuan dalam penelitiannya. Ketiga, dan yang paling penting, adalah bahwa mereka belum menyadari tentang perlunya seorang peneliti untuk mengambil “standpoint”, yang oleh Dorothy Smith disebut “the standpoint of women” (standpoin perempuan).
F. Kerangka Teori
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf,[4] sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
G. Metode Penelitian
            Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) an sich yang bersifat literer, artinya penelitian ini akan didasarkan pada data tertulis yang berbentuk artikel, jurnal atau artikel lepas yang terkait dengan pemikiran feminisme, gender dalam perspektif yang dipublish di berbagai website dan blog dalam ruang Indonesia. 
Berkaitan dengan bentuk penelitian ini lebih mengarah pada penelitian sejarah dan pemikiran, maka penelitian menggunakan metode hermeneutik (hermeneutical method), yakni metode yang berupaya  memahami atau menafsirkan teks,[5] atau dengan kata lain suatu cara memahami berbagai literatur (teks) yang terkait dengan kaum feminisme Indonesia dalam perspektif kesetaraan gender.
Disamping itu juga akan digunakan analisa eksplanatoris (explanatory analysis) yaitu suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam dari sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks sehingga memberi pemahaman mengenai mengapa dan bagaimana pemikiran atau penafsiran itu muncul dan apa saja sebab yang melatar belakanginya.[6] Kemudian dalam kaitannya dengan sifat penelitian ini yaitu studi kritis (critical studies) maka peneliti akan menggunakan model wacana kritik, yaitu menguraikan pemikiran feminisme secara detail dan melakukan kritik terhadap pemikiran feminisme yang dianggap tidak relevan dengan sosio-kultural masyarakat Indoensia. 
Hermeneutika pada dasarnya suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks tersebut untuk mencari arti dan maknanya. Metode  hermeneutik mengisyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan keadaan masa lampau yang tidak dialaminya dan kemudian dibawa pada keadaan masa sekarang. Sebagai sebuah metode penafsiran,  hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami kandungan makna literal. Akan tetapi lebih dari itu,  hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertim-bangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud dalam hal ini adalah horison teks maupun horizon pengarang. Oleh karena itu, diharapkan adanya suatu upaya pemahaman atau penafsiran yang menjadi kegiatan rekontruksi dan reproduksi makna teks. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstual


EPISTEMOLOGI FEMINIS INDONESIA
Kritik atas Pemikiran Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia

Berangkat dari deskripsi pemikiran kesetaraan gender Nasaruddin Umar di Bab III,  Peneliti menemukan inkonsistensi pemikirannya. Ketika Nasaruddin menulis desertasi dan beberapa artikel tentang Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'an, nampak masih  konsisten dengan pernyataannya tentang konsep kesetaraan gender dalam al-Quran. Tetapi ketika  Nasaruddin diwawancarai Novrianto dari JIL ada pernyataan Nasaruddin yang bertolak belakang dengan isi Tulisan-tulisannya.
Ketika ditanya tentang konsistensi penelitiannya tentang perempuan Nasaruddin mengatakan ketika mencoba memahami pelbagai kitab suci untuk mengetahui bagaimana pandangan kitab suci-kitab suci terhadap perempuan. Ironisnya, ia temukan, bukan hanya di dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap perempuan, tapi juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya, seperti kitab Konghucu dan Budha, bahkan kitab klasik seperti Talmud. Makanya, saya berpikir pasti ada yang salah di sini. Saya mencoba melihat akar permasalahannya ada di mana”  judul hasil wawancara ini adalah “Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Semua Kitab Suci Bias Gender”
 Nasaruddin sepakat dengan Novriantoni bahwa dalam kitab suci, sebetulnya pandangan yang misoginis atas perempuan itu kurang kuat, tapi karena perbauran dengan budaya tertentu, akhirnya pandangan keagamaan tentang perempuan jadi bertambah buruk. Secara kontekstual menurut Nasaruddin tidak ada kita suci yang diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya. Tidak ada kitab suci yang diturunkan di sebuah wilayah geografis tanpa manusia. Semua kitab suci, termasuk Al-Qur’an, diturunkan dalam masyarakat yang sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma kearabannya. Karena itu, ada pola dialektik tersendiri bagaimana kitab suci menyesuaikan dirinya dengan nilai lokal. Nah, dalam Islam sendiri kita mengenal proses tasyri’ dan tadrîj, yaitu berangusur-angsurnya Tuhan dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Ada juga prinsip ‘adamul haraj, atau menghindari ketegangan dan kesulitan; al-taqlîlut taqlîfî, sedikit demi sedikit bukan langsung dibom.
Berdasarkan pada penjelasan tentang metode tasyri dan tadrij Nasaruddin ingin menyusun alur logika untuk memperkuat argumennya tentang pandangan endrosentris terhadap al-Quran. Menurutnya Allah sadar betul kalau Dia menurunkan Islam dalam masyarakat yang syarat dengan budaya. Maka ada proses sosialisasi yang bertahap.
Disini terlihat inkonsistensi pandangan Nasaruddin tentang perempuan khusus-nya berkaitan dengan kesetaraan gender. Tulisan Nasaruddin Umar tentang Kualitas feminis dan maskulin Pandangannya bahwa tidak terdapat perbedaan laki-laki dan perempuan.  Namun ketika wawancara dengan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal ia mengemukakan hal paradoks bahwa al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya bias gender.
Selain inkonsistensi pemikiran Nasaruddin Umar, peneliti melihat kelemahan epistemolo-gis dan metodologis dalam mengemukakan pandangannya. Peneliti Sepakat dengan pandangan Anen Sutianto, bahwa Gender juga secara sederhana dapat dipahami sebagai efek yang timbul akibat perbedaan anatomi biologis yang melahirkan konsep budaya.
Penggunaan istilah gender sebetulnya belum terlalu lama. Menurut Showalter, wacana gender mulai ramai pada awal tahun 1977, ketika  sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan wacana gender (gender discourse).
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ini pun di dalam masyarakat dibahas di dalam berbagai teori, yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, teori yang mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis, atau biasa disebut teori nature. Anatomi biologi laki-laki dengan sederet perbedaannya dengan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Laki-laki memerankan peran-peran utama di dalam masyarakat karena secara umum dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif.
Organ dan fungsi reproduksi perempuan dinilai membatasi ruang dan gerak perempuan, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak punya fungsi reproduksi itu. Perbedaan inilah yang akhirnya melahirkan pemisahan fungsi dan tangung jawab antara laki-laki dan perempuan. Hal senada pun diungkapkan oleh teori fungsionalis struktural, teori sosio biologis, teori psikoanalisis, dan kecende-rungan masyarakat kapitalis.
Kedua, teori yang mengatakan bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh faktor budaya, atau sering dikenal dengan teori nurture. Teori ini berkesimpulan bahwa pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh factor biologis, namun sesungguhnya dikonstruksikan oleh budaya masyarakat, yakni  relasi kuasa (power relation) yang secara turun-temurun dipertahankan oleh laki-laki. Pendapat ini didukung oleh teori konflik, teori feminis, dan kecenderungan masyarakat sosialis.
Tidak sedikit penafsiran kitab suci yang membenarkan konstruksi budaya yang hidup di dalam masyarakat. Sebaliknya, tidak sedikit pula konstruksi budaya dibangun di atas landasan pemahaman kitab suci. Kesemuanya ini membentuk persepsi yang mengendap di alam bawah sadar masyarakat bahwa perempuan memang seolah-olah tidak pantas untuk disejajarkan dengan laki-laki.
Nasaruddin Umar, mengurai kembali paradigma tentang gender dalam pan-dangan tekstual normatif agama sehingga desertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al Quran bahwa  secara umum tampaknya Alquran mengakui adanya distinction laki-laki dan perempuan, itu memang benar. Namun, perbedaan tersebut bukanlah pembedaan diskriminasi yang menguntungkan satu pihak yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi Alquran, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (Q.S. Ar-Rum:21), sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Saba:15.
Memang agak sulit kalaulah kita menilai, apakah Alquran mendukung teori natur atau teori nurture. Namun, yang menjadi concern Alquran menurut peneliti bukan terletak pada mengacu kepada teori-teori yang ada, melainkan seberapa jauh teori tersebut sesuai dengan prinsip universalitas Islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah ayat gender mengesankan bahwa Alquran cenderung mempersilakan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan.
Perspektif Alquran juga tidak sekadar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, namun lebih dari itu Alquran juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Di mana misi pokok diturunkannya Alquran ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, teramsuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, ras, dan ikatan-ikatan primordial lainnya (Bab IV-V). Oleh karena itu, jika terdapat penafsiran yang menghasilkan bentuk penindasan dan ketidakadilan, penafsiran tersebut kiranya perlu diteliti ulang.
Patut disayangkan, kata Nasaruddin Umar, dalam menafsirkan ayat-ayat Quran kita sering mencampuradukkan bahkan cenderung mengidentikkan relasi seksual yakni hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis dengan relasi gender yang merupakan sebuah konsep dan realitas sosial yang berbeda, di mana pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis, melainkan pada kualitas, skill, dan peran berdasarkan konvensi-konvensi sosial. Padahal, langkah terbaik dalam memahami ayat tersebut adalah dengan memperhatikan setting sosial dan budaya yang ada, atau dengan kata lain memahami konteks latar belakang (asbabaun nuzul) ayat tersebut diturunkan, kemudian dapat memilah danmemilih atau juga menyinkretiskannya.
Contoh sederhana, ketika Alquran dihadapkan pada realitas kehidupan modern maka sangat dimungkinkan munculnya berbagai penafsiran dan  implementasinya tidak ada statement Alquran mengenai jabatan Presiden, menteri, dll. Karena sewaktu Alquran diturunkan wilayah yang terbuka untuk ditafsirkan dengan mempertimbang-kan konteks sosialnya. Sekali lagi, anatomi biologis laki-laki dan perempuan memang cukup jelas. Namun, hal itu tidak cukup sebagai landasan baku untuk membuat klasifikasi dan disertifikasi peran dalam kehidupan sosial.
Dalam buku ini pula, sebenarnya penulis ingin mengajak pembaca untuk mengadakan kajian kritis terhadap anggapan-anggapan yang telah ada atas supremasi laki-laki dan perempuan dengan menyandarkan dalil-dalil keagamaan. Selain itu, dalam buku ini pembaca diajak untuk melakukan imajinasi histris-sosio-antropologis mengenai kondisi masyarakat Arab pada abad VI, ketika Alquran diwahyukan yang berlangsung selama sekira 23 tahun.
Pendekatan semacam ini diperlukan dengan asumsi bahwa gagasan Tuhan yang bersifat adil, universal, dan transhistoris ketika harus dikomunikasikan pada manusia yang hidup menyejarah maka kandungan dasar Alquran harus meminjam serta beradaptasi dengan karakter bahasa dan kultur Arab yang merupakan fenomena dan realitas historis yang tidak dapat dipungkiri.
Fenomena bias gender dalam penafsiran Alquran menurut penulis setidaknya dapat ditelusuri di dalam beberapa faktor, di antaranya pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qiraat, pengertian kosa kata (mufradat), penetapan rujukan kata ganti (dlamir), penetapan batas penegecualian (istisna), penetapan arti huruf 'athf, bias dalam struktur bahasa, bias dalam kamus bahasa Arab, bias dalam metode tafsir, pengaruh isra'illiyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab fiqh (hlm. 265-290).
Adapun pada prinsipnya, kedudukan gender dalam Alquran punya posisi yang sangat khas. Khas dalam arti posisi peranan antara laki-laki dan perempuan begitu seimbang, sesuai dengan kodratnya masing-masing sehingga tidak terjadi tumpang tindih peran.
Prinsip kesetaraan gender dapat pula ditemukan dalam Alquran seperti halnya posisi laki-laki dan perempuan sama-sama seorang hamga, khalifah punya potensi yang sama untuk meraih prestasi dan keduanya pun sama-sama menerima perjanjian primordial yang sama pula di hadapan Allah SWT.
Menarik buku yang ditulis oleh Nasaruddin Umar ini ternyata mempunyai beberapa kekhususan yang jarang dan bahkan belum pernah ditemukan dalam buku-buku lain. Kekhusuan ini antara lain berusaha memahami ayat-ayat gender dengan menggunakan metode komprehensif, yakni memadukan antara metode tafsir kontemporer dan metode ilmu sosial. Analisis sematik, semiotik, dan hermeneutik juga turut andil mempertajam analisis pembahasan buku ini. Setidaknya buku ini menjadi suatu langkah awal tentang bagaimana persoalan gender dikupas oleh Alquran.
 Selain itu, buku ini setidaknya menjadi stimulus melakukan penelitian lebih lanjut, kalau perlu, menyusun kitab tafsir tentang persoalan gender.
Nasaruddin mengatakan; kalau agama ingin hidup di suatu masyarakat, maka dia tidak boleh melakukan pengguntingan tradisi secara radikal dalam masyarakat itu sendiri. Kalau itu yang terjadi, agama itu pasti tidak akan ramah dalam masyarakat. Dia  ingin mencontohkan bagaimana dialektika Islam menghampiri masyarakatnya. Pertama, yang dihampiri Al-Qur’an selalu adalah kaum elite, karena masyarakat Arab bersifat sangat paternalistik. Asumsinya, kalau merangkul golongan elite, otomatis rakyatnya terangkul di situ. Masyarakat di sana juga patriarkis. Asumsinya, jika merangkul kaum laki-laki, otomatis perempuannya tunduk di situ.[7]
Inilah siasat sosialisasi Al-Qur’an. Makanya kita jangan menganggap Al-Qur’an itu patriarkis dan paternalistis, melainkan ia hanya mengakomodir kondisi objektif dari kultur masyarakat yang sedemikian. Mungkin ada contoh terbaik juga bagaimana Al-Qur’an memberikan pembebasan terhadap perempuan. Sebelum Al-Qur’an turun, perempuan tidak boleh mendapat warisan sama sekali, bahkan tidak semua laki-laki mendapt warisan. Yang boleh mendapat warisan hanya laki-laki yang kuat mengangkat pedang. Sekalipun laki-laki, tapi masih kanak-kanak atau uzur, maka dia tidak boleh mendapat warisan. Islam datang dengan ajaran, jangankan laki-laki sepun dan kanak-kanak, perempuan pun boleh mewarisi mekipun satu berbanding dua jatah laki-laki. Dulu perempuan jangan bermimpi akan menjadi saksi dalam suatu perkara, karena saksi itu bagian dari dunia publik. Yang bisa menjadi saksi adalah laki-laki saja. Tapi Islam datang membenarkan perempuan menjadi saksi.
Itu hanya persoalan metodologi. Artinya, sosulisnya juga adalah metodologi. Misalnya, Islam datang untuk membebaskan kelompok yang tertindas. Dulu anak perempuan tidak pernah diakikahkah, sekarang jadi boleh. Dulu kalau perempuan dibunuh, tidak ada aturan tebusannya. Kalau yang dibunuh laki-laki, tebusannya tergantung stratifikasi sosialnya; kalau golongan bangsawan 100 unta, bukan bangsawan 50 unta. Kemudian Islam datang dengan ketentuan tebusan 50 unta untuk (pembunuhan) perempuan, dan 100 unta untuk laki-laki.
Menurut Nasaruddin mungkin persoalannya karena kita sekarang langsung mengonfirmasikannya dengan persaolan-persoalan seperti warisan perempuan yang satu berbanding dua laki-laki, persaksiannya juga satu banding dua, akikahnya juga satu kambing (untuk perempuan) berbanding dua (untuk laki-laki), ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin, dan soal hak talak yang lebih rumit. Mungkin juga karena kalau kita baca kitab-kitab fikih, perempuan adalah subordinasi laki-laki. Jadi seolah-olah Islam menempatkan perempuan itu di kelas dua.



B. Kritik epistemology
Sebelum mengemukakan kritik terhadap tokoh feminis Indonedia ini, terlebih dahulu akan dikemukakan bagaimana epistemology kaum feminis yang menjadi panutan Nasaruddin dan Musdah Mulia. Jika diperhatikan  gerakan feminis sebagian besar dikonstruksi di atas kesadaran ilmiah. Studi-studi wanita yang lahir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menempatkan wanita sebagai pusat analisis. Tentu pertama-tama dengan mengkritisi kecenderungan ilmu pengetahuan yang menurut pandangan kaum feminis bersifat endrosentris. 
Setiap wahyu atau ayat yang diturunkan merupakan jawaban dari problema yang dihadapi masyarakat. Pemecahan problematika yang ditawarkan al-Quran selalu memperhatikan konstruksi sosio kulutral masyarakat yang disapanya. Dalam hal justru al-Quran justru sedang melakukan pembebasan (liberalisasi) terhadap nasib perempuan pada saat itu, seperti yang dilakukan kaum feminis pada era pos modern saat ini.
Secara substansial, epistemologi feminis memberikan pendasaran pada satu bentuk metodologi yang mampu merekam situasi mental dan kondisi sosial yang disebabkan oleh ketertindasan dan ketidakadilan sistem sosial.  Tentu untuk memenuhi maksud ini, kaum feminis memberikan tekanan dalam riset mengenai feminisme kepada empat aspek pokok,  pertama, perlunya perubahan perspektif dari pria ke sudut pandang perempuan, kedua, dibutuhkan pergeseran dari metode ilmu-ilmu pengetahuan ke alaman (hard science) ke metode ilmu-ilmu pengetahuan sosial-budaya (soft science), ketiga, dialog feminis dan wacana persahabatan, yakni dialog yang bersahabat untuk membangkitkan nilai-nilai dan pengalaman feminis serta penelitian yang bersudut pandang bersahabat, bukan missogini, keempat, epistemologi yang mempertimbangkan aspek lokal, sosial, dan kedudukan perempuan.

Kritik terhadap Nasaruddin Umar
Sebagaimana uraian tentang gagasan Nasaruddin Umar paradoks bahwa tidak hanya al-Quran yang tidak memberikan tempat yang layak bagi perempuan ternyata semua kitab suci agama-agama itu bias gender. Peneliti akan melakukan analisis  metodologis dan epistemologis terhadap ungkapan Nasaruddin ini. Pertama, metodologis, Peneliti melihat justru ungkapan Nasaruddin secara hermeneutic bukan hanya telah menunjukkan inkonsistensi gagasannya tetapi, telah melakukan kontraproduktif terhadap apa yang telah ia tulis pada beberapa artikel terutama disertasinya. Pandangannya itu menunjukkan keraguan dari apa yang telah diteliti sekian lama.  
 Dia menerapkan epistemology feminism ketika menafsirkan al-Quran mengidentikkan kaum feminis ketika mengkritis kaum positivism atau konstruksi social masyarakat yang patriarchy. Kekeliruan Nasaruddin pada metodologinya, dimana ia menilai al-Quran berdasarkan pandangan masyarakat liberal, yang mendasari keseluruhan pandangannya pada kesetaraan, tanpa pertimbangan kontekstual.
Kekeliruan Nasaruddin dalam penerapan metode penafsirannya juga terlihat jelas dari sudut pandang hermeneutika.[8] Teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor social budaya yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemun-culan suatu teks.
Nasaruddin dalam hal ini tidak memperhatikan bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut mem-bentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak ter-pisahkan dari komunitasnya.
Menurut Schleiermacher, proses pemahaman menurut metode hermeneutik menuntut agar pembaca atau penafsir berusaha untuk "reliving and rethinking the thought and feeling of the author", agar pembaca atau penafsir atau penginterpretasi dapat menempatkan diri pada posisi kehi-dupan, pemikiran dan perasaan dari sang penciptanya sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh terhadap obyek yang dikajinya. Pendapat Schleiermacher ini mendorong tumbuhnya teori fenomeno-logi hermeneutik. Hal ini sependapat dengan Gadamer yang mengatakan bahwa untuk memahami sebuah obyek sosial yang menyangkut makna hidup tidak bisa tanpa adanya atau melalui partisipasi dan dialog dengan tradisi yang hidup ditengah masyarakat tempat obyek sosial itu berada. Lebih lanjut Gadamer menyatakan bahwa untuk dapat melakukan dialog yang produktif, hanya bisa terjadi bila antara subyek dan obyek melebur dan menjadi tidak terpisahkan (the fusion of horizons), artinya memahami dunia manusia hanya bisa diperoleh secara benar dan otentik ketika yang bersangkutan mengalami sendiri serta lebur didalam peristiwa kehidupan tersebut.
Demikian pula William Dilthey berpendapat bahwa ukuran dasar makna dalam teks adalah niat penulis dan bahkan makna teks itu menyatu dengan niat rasional penulis. Dia berkata: seni berasal dari  kehendak niat seniman dan tidak berpisah dari seniman, dan takwil adalah media untuk mengetahui niat ini. Dan dia menganggap bahwa teks itu merupakan manifestasi kehidupan dan secara nyata merupakan kehidupan ruh dan jiwa si penulis.
Dilthey sebagaimana Schleier Macher, penafsir harus mendekatkan dirinya terhadap unsur penyusun bukan penyusun dan karyanya dikembalikan pada zamannya. Dan dengan hal ini, pengetahuan si penakwil terhadap perkataan penyusun lebih sempurna dihubungkan dengan penyusun sendiri. Oleh sebab itu Dilthey berpandangan bahwa hermeneutik bertujuan mengetahui lebih sempurna dari penyusun dari karyanya dimana si penyusun tidak mendapat pengetahuan itu sebelumnya. Dia juga berpendapat tentang kemungkinan menyingkap makna akhir suatu teks. Menurutnya tujuan penakwil menghilangkan jarak zaman dan sejarah antara dia dan penyusun dan syarat terciptanya itu melewatkan seluruh asumsi-asumsi dari zaman kekinian dan mecapai horizon pemikiran-pemikiran penyusun dan melepaskan seluruh ikatan-ikatan dan beban sejarah kekinian dan fanatisme serta asumsi-asumsi.
Dengan kata lain, kekeliruan Nasaruddin adalah ketika dia memahami teks al-Quran berdasarkan kacamata zamannya bukan berdasarkan zaman atau kondisi psiko social ketika teks itu dibuat. Menurut peniliti kekeliruan epistemology (paradigm) yang diterapkan Nasaruddin.

Mainstream Musdah Mulia sebagai feminis tertuang  dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) disusun sebagai laporan dari hasil penelitian selama dua tahun yang dilakukan oleh sebuah tim yang menamakan dirinya dengan Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender (Pokja PUG) yang dikomandani Siti Musdah Mulia, staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, yang diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Depag RI untuk meneliti, mengkaji ulang dan menyusun draft pembaruan (revisi) terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. PUG sendiri dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender.  
Draft revisi KHI usulan Tim Pokja PUG terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Dan masing-masingnya memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam. Perspektif awalnya adalah adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan status KHI dari hanya sekedar produk Inpres menjadi sebuah produk UU. Target dari Tim Pokja PUG sendiri adalah untuk membuka mata masyarakat bahwa ada persoalan yang perlu dikaji, renungkan,  dan refleksikan sehingga KHI tidak menjadi sakral dan seolah-olah seperti kitab suci yang tidak boleh dikritik, karena KHI yang berlaku sejak tahun 1991 adalah produk fikih yang dinilai sudah “tidak bisa” dan “tidak mampu” menyelesaikan persoalan muamalah,  karena masih mengandung beberapa “kecacatan” yang fatal. Diantaranya; Pertama, KHI 1991 banyak mengandung ketidakadilan, patriarkal, dan bernuansa eksklusivisme;  Kedua, KHI 1991 kurang sesuai dengan banyak produk hukum yang sudah ada, baik berskala nasional maupun internasional; Ketiga, KHI 1991 kurang sesuai sesuai dengan HAM; dan  keempat, sudah dapat dianggap kurang sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri.
Isu gender yang dihembuskan dunia Barat telah memberikan efek bius yang sangat kuat di bumi pertiwi ini. Apalagi akhir-akhir ini, ada kecenderungan naiknya kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam laporannya dua tahun lalu di Jakarta.
Juga seringkali dipublikasikan baik melalui media massa maupun media elektronika tentang berbagai kasus tindak kekerasan terhadap kaum hawa. Hal ini menjadi salah satu  acuan dasar yang digemakan oleh Tim Pokja PUG di berbagai seminar dan diskusi yang mereka lakukan dalam rangka mensosialisasikan dan menggalang dukungan atas rumusan draft pembaruan KHI yang diusungnya.  
Kekeliruan Epistemologi yang digunakan Musdah tidak banyak berbeda dengan Nasaruddin Umar. Musdah  berasumsi bahwa tujuan syari’ah adalah menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan social didasarkan atas paradigma feminism radikal.
Seperti yang dilakukan oleh Riffat Hassan yang berpendapat bahwa aborsi mestinya dihalalkan. Pandangannya didasarkan bahwa perempuan bebas memilih apakah ia ingin melahirkan atau tidak.
  Dalam Buku I tentang Perkawinan CLD KHI versi Tim Pokja PUG terdapat rumusan pasal-pasal yang kontroversial, diantaranya sebagai berikut :
Pasal 7; Ayat (1):  “Calon suami atau isteri dapat mengawinkan dirinya sendiri”.  Pasal 9; Ayat (1):  “Ijab dan kabul dapat dilakukan oleh calon suami atau calon isteri” Ayat (2):  “Apabila ijab dilakukan oleh calon isteri, maka kabul dilakukan oleh calon suami”
Menurut Syari’at Islam yang selama dilaksanakan umat Islam di Indonesia pada umumnya adalah, Pernikahan harus dilaksanakan oleh wali. (QS. 2 : 232 dan QS. 24: 32). Wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Bila itu terjadi maka nikahnya batal demi hokum karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.
Pasal 11; Ayat (1):  “Posisi perempuan dan laki-laki dalam persaksian adalah sama”.  Ayat (2):  “Perkawinan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang perempuan atau dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan satu orang perempuan”.
Nampaknya Musdah dan kawan-kawan ingin menerapkan kesetaraan gender itu masuk dalam level persaksian. Ini adalah kelanjutan pikirannya yang senada dengan Nasaruddin  Umar yang berpendapat bahwa Kitab suci termasuk Al-Quran bias gender. Kalau pada umumnya  kesaksian dalam masalah mu’amalah disyaratkan terdiri dari dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. (QS. 2 : 282), maka atas nama keadilan gender mereka menginginkan perbandingan dan kedudukan sama dalam hal persaksian.
Hadits Nabi saw;  “Tidak sah kesaksian wanita dalam masalah pidana, nikah, dan talak”. Mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan saksi nikah terdiri dari dua orang laki-laki. Dan tidak sah akad nikah dengan kesaksian perempuan.
Mazhab Hanafi membolehkan saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dan kesaksian yang dilakukan oleh kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya pada Pasal 16; disebutkan bahwa “Calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat”.  Jika selama ini disyariatkan bahwa yang memberi mahar adalah laki-laki, maka melalui CLD KHI nya menetapkan bahwa kewajiban tidak hanya laki-laki tetapi kedua belah pihak berkewajiban memberikan mahar  kepada pasangannya.
Penjelasan tentang mahar tercantum pada  Pasal 18; bahwa “Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan”.  Bila yang telah dilakukan selama ini adalah Suami wajib memberikan mahar kepada isteri yang dinikahinya, mahar adalah hak isteri yang diberikan oleh suami karena terjadinya akad nikah, besar kecilnya mahar ditentukan oleh kesepakatan calon suami dan calon isteri atas dasar keikhlasan, dan yang terakhir suami tidak boleh mengambil atau memakan mahar yang telah diberikan kepada isteri, kecuali adanya kerelaan dari pihak isteri. (QS. 4 : 4)
Berkaitan dengan hak dan peran dalam rumah tangga Musdah mencantumnya pada Pada Pasal 50 Ayat (2):  “Suami dan isteri secara bersama-sama berhak  Memilih peran dalam kehidupan berkeluarga”.   Nampaknya Musdah cs memiliki interpretasi bahwa ayat 34 Surah An-Nisa tidak hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki tetapi peran itu tentative bergantung kepada keutamaan yang dimiliki masing-masing. Yang menarik dari dictum ini bahwa 34 itu diinterpretasi dalam kerangka keadilan gender.
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 à
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Apa yang disebutkan dalam ayat 34 surah An-Nisa ini menurut pada umumnya ulama  bahwa Suami adalah kepala keluarga. (QS. 4 : 34). Isteri adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan harta suaminya. (Hadis Nabi saw)
 Berkaitan dengan iddah, dalam CLD Musdah cs menetapkan:  “Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama, berlaku masa transisi atau iddah”. Ayat (7):  “Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut: a.  Apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tigapuluh hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya”. Musdah nampaknya hendak mengikuti jejak pendahulunya seperti Riffat Hassan dan Aminah Wadud,[9] dalam melakukan gugatan dan dekonstruksi ajaran Islam yang telah mapan ditengah masyarakat dengan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Quran.
Riffat Hassan menggagas pembolehan aborsi pada wanita dengan alasan perempuan berhak menentukan dan memilih apakah ia ingin melahirka atau tidak. Sementara Aminah Wadud mempelopori khatib dan imam perempuan dalam shalat jumat.
Gagasan Musdah yang radikal ini tentunya berbeda dengan apa yang telah berlaku selama ini dikalangan umat Islam bahwa Isteri yang dicerai karena kematian, masa iddahnya 4 bulan 10 hari (130 hari). (QS. 2 : 234). Isteri yang dicerai hidup, masa iddahnya 3 kali suci (3 kali haid). (QS. 2 : 228).  Jika isteri yang dicerai sudah menopause maka iddahnya 3  bulan hilaliyah. (QS. 65 : 4).  Isteri yang dicerai dalam keadaan hamil, iddahnya sampai melahirkan. (QS. 65 : 4)
Tidak ada nash (baik al-Quran, hadis, maupun Ijma’ ulama) yang menyatakan bahwa suami wajib beriddah, baik karena cerai mati maupun cerai hidup.  
Berdasarkan beberapa rumusan tersebut diatas, tampak jelas bahwa Tim Pokja PUG Depag RI yang dikomandani Siti Musdah Mulia dalam merumuskan CLD KHI mendasari pikiran mereka pada konsep kesetaraan gender kaum feminis liberal.
Dalam terminologi feminis, gender (jenis kelamin sosial) didefinisikan sebagai perbedaan perilaku atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender dianggap hanya sebagai produk budaya dan bukan nature. Dengan kata lain, bahwa gender merupakan sekadar hasil persepsi suatu masyarakat terhadap kodrat (sifat paten) laki-laki dan kodrat wanita yang tidak bersifat permanen, sehingga dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Mereka menyatakan bahwa secara kebetulan, saat ini budaya masyarakat sedang didominasi kultur patriarkal yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior daripada perempuan, sehingga melahirkan mitos-mitos peran gender yang dapat merugikan kaum perempuan, seperti peran perempuan yang melulu (divonis) harus menjalankan fungsi-fungsi kerumahtanggaan dalam sebuah keluarga, dan sebaliknya kaum laki-laki dengan sifat-sifat maskulinitasnya selalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum   perempuan (setidak-tidaknya sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga).
Oleh karena itu, kelompok liberal ini berobsesi untuk merubah masyarakat Indonesia yang patriarki menjadi masyarakat berkesetaraan gender, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan persepsi keagamaan yang dianggap bias gender, dan lain-lain) maupun secara struktural (seperti melalui perubahan kebijakan), dan pada akhirnya suatu saat nanti masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), sehingga tidak terjadi lagi pembagian peran sosial dan semua orang (laki-laki dan perempuan) akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya secara wajar tanpa harus merasa malu maupun khawatir dianggap menyalahi kodratnya.
Untuk merealisasikan obsesinya tersebut, Musdah pun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran baru yang senafas dengan tuntutan zaman, yakni dengan cara melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash syar’i ke arah keberpihakan pada kaum perempuan dengan mengusung salah satu konsep ulama yang kerapkali diperdengarkan  “Taghayyur al-hukm bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah wa al-ahwal”. Konsep ini menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan yang selalu bergerak dan berputar sesuai dengan tempat, zaman, serta situasi dan kondisi dimana umat Islam itu berada. Dengan kata lain, bahwa hukum Islam akan selalu berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya.
Karena itu, fitrah Islam sebagai agama  rahmatan lil’alamin tidak bisa disama-ratakan pada semua negara.  Indonesia adalah sebuah negara yang sangat kaya dengan ragam budayanya, sehingga menurut mereka perlu adanya penyatuan antara hukum Islam dengan budaya lokal setempat, dengan tujuan agar mudah dapat diterima secara sukarela dengan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menerima budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup. Keberhasilan Walisongo dalam menyebarkan
Islam tidak lepas dari upayanya yang memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam ragam budaya masyarakat saat itu. Dengan demikian, aturan hukum Islam tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai kontekstual peradaban. Oleh karena itu menurut liberalisme, adanya penerapan hukum Islam yang berbeda tidak selalu harus dilarang, karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras terhadap kehidupan keagamaan yang dijadikan sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan hukum Islam.
Nampak jelasa bahwa ide kesetaraan gender yang mereka suarakan melalui rumusan CLD KHI tersebut Nampak begitu dipengaruhi oleh pemikiran feminism liberal.  Ada kesan, seakan-akan mereka tidak dapat menerima realitas kelahiran manusia dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya. Bagaimanapun kaum feminis tidak akan dapat menolak fakta, bahwa manusia memang terlahir terdiri dari dua jenis yang berbeda.
Faktat lain yang tidak dapat disangkal mengapa nabi dan Rasul hanya dipilih dari kaum laki-laki. Apakah dapat dikatakan bahwa Tuhan telah melakukan ketidak adilan dalam memilih Rasulnya.
Bagaimana pula menjelaskan mengapa manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan bentuk dan jenis yang berbeda, kalau bukan karena keduanya (kaum laki-laki dan perempuan) memang dan pasti memiliki peran dan fungsi yang berbeda.
Asumsi bahwa perbedaan sebagai sebuah bentuk ketidakadilan adalah sebuah kegamangan dalam berpikir. Nampaknya mesti ditemukan perspektif kesetaraan gender yang lebih proporsional, tidak emosional serta lebih komprehensi dalam melihat realitas kodrati masing-masing.
Dalam pandangan Islam bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama (QS. 30: 21), dalam arti bahwa keduanya secara insaniyah sama-sama memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Oleh karena itu, perbedaan yang ada tidak bisa diasumsikan sebagai cerminan ketidakadilan, tetapi harus dipahami sebagai sebuah ketetapan Allah swt yang mutlak dan pasti. Tujuannya adalah demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia   dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai dengan aturan yang telah digariskan-Nya. Karena kemuliaan hakiki menurut syara bukan diukur berdasarkan jenis kelamin, status, maupun kedudukan seseorang melainkan atas dasar nilai ketakwaan, yakni bentuk ketaatan untuk melaksanakan semua aturan Allah swt sesuai dengan peran dan fungsi yang diamanatkan-Nya. (QS. 51 : 56)
Dengan demikian, ide kesetaraan gender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan, sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap ke-Mahaadilan dan ke-Mahasempurnaan Allah swt sebagai Pencipta dan Pengatur manusia. Oleh karena itu, sangatlah tidak layak apabila kaum muslim dan muslimah meyakini terhadap kebohongan ide ini.
Sejumlah pasal dalam draft KHI kali ini memang rancu. Poligami dilarang. Perkawinan antar-agama disahkan. Kawin kontrak diizinkan. Batas minimal perkawinan adalah 19 tahun. Laki-laki - sebagaimana wanita -- juga memiliki iddah. Rumusan draft KHI itu didasarkan atas empat pendekatan utama, yakni gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Namun, metode literal yang dituduhkan kepada pengritik draft KHI juga diterapkan oleh penyusun draft KHI sendiri.  Musdah nampaknya tidak menyadari bahwa tafsir mereka terhadap ayat-ayat yang diklaim sebagai bias gender juga bersifat tekstual bukan kontekstual.  
Berkaitan dengan gender, kaum feminis membuat klaim general, bahwa tradisi fiqih Islam didominasi laki-laki. Tafsir yang ada adalah bias gender. Bahkan, seorang tokohnya menyatakan, semua kitab suci bias gender.  Gagasan itu mirip dengan gagasan kaum feminis di Amerika yang mengatakan Bible mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan.
Dengan menjadikan “gender equality” sebagai epistemologinya Musdah kemudian mencoba melakukan reaktualisasi terhadap ayat-ayat al-Quran, dan menyatakan, al-Quran juga bias gender, karenanya menurut Musdah interpretasinya harus berdasar paradigma feminis agar produk tafsir tidak bias gender.
Problema praktis dan partikular yang dihadapi kaum wanita --memang banyak diantara mereka yang tertindas-- ditarik ke akar ideologis dan epistemologis. Seolah-olah, semua itu adalah karena kesalahan ulama Islam masa lalu, yang merumuskan fiqih yang berpihak pada laki-laki.
Maka, simaklah, misalnya, logika Ketua Tim PUG Dr. Siti Musdah Mulia soal poligami. Dalam wawancara dengan satu Harian di Jakarta, ia menyatakan, “Polygamy is for prophets and those who have the same level as prophets, not for common human beings like us.”
Logika bahwa asas perkawinan adalah monogami (ps 3 ayat 1) CLD KHI, sehingga perkawinan di luar ayat 1 harus dinyatakan batal secara hukum (ps.3 ayat 2) rancu. Poligami tidaklah mesti dipandang sebagai rahmat bagi laki-laki dan bencana bagi wanita. 
 Dalam wawancara dengan Harian yang sama, Siti Musdah mengatakan: “What is the actual danger of interfaith marriage? Corruption is more dangerous than interfaith marriage, as the former harms the nation. Actually, Islam provides many opinions on interfaith marriage. I just cannot understand why it must be banned. You cannot agree with interfaith marriage, but you cannot order others to follow your belief.”
Menurut Musdah, korupsi lebih berbahaya dari perkawinan antar agama. Ini logika yang amburadul. Korupsi adalah jahat. Perkawinan yang tidak sah juga jahat, sebab sama saja dengan perzinahan. Pezina patut dijatuhi hukum cambuk atau rajam, yang bisa jauh lebih berat ketimbang hukuman bagi koruptor. Benar, banyak perbedaan pendapat dalam hal pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
Tetapi, tidak ada perbedaan dalam soal haramnya Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Lalu, simaklah kata-kata Siti: “Anda boleh tidak setuju dengan perkawinan antar agama, tetapi Anda tidak dapat memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan anda.”
Kesimpulan Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia atas Penafsiran ayat-ayat  al-Quran tentang kesetaraan gender secara tematik memperlihatkan kelemahan. Pertama, Nasaruddin Umar dan Musdah tidak memperhatikan mengapa dalam Al-Quran hanya ada surah An-Nisa yang berarti perempuan, tidak terdapat surah al-Rijal yang berarti laki-laki. Apakah fakta ini dapat juga diinterpretasi sebagai ketidak adilan dalam al-Quran. Kedua, metode Tafsir Tematik dalam prosedur penafsirannya mensyaratkan mengumpulkan seluruh ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema yang ditetapkan oleh penafsir lalu menafsirkannya secara komprehensif tidak parsial atau terpisah. Ketiga, kalau Musdah ingin mensetarakan laki-laki dan peremepuan dengan mendekonstruksi iddah, dengan memberlakukan iddah bagi kaum laki-laki yang telah bercerai. Musdah dan kawan-kawan nampaknya tidak cermat dalam melihat ayat tentang iddah ini. Iddah yang ditetapkan untuk perempuan dalam al-Quran adalah dimaksudkan untuk kepastian hukum. Ini adalah prinsip hukum al-Quran yang bersifat preventif.   Kepastian hukum bagi ada calon anak mungkin ada dalam kandungan perempuan. Kepastian hukum ini dimasudkan; siapa yang menjadi waris dari anak yang dilahirkan nantinya apakah mantan suaminya atau suami berikutnya. Dan kepastian hukum siapa yang menjadi wali bagi anak perempuan yang akan dilahirkan nantinya. Barangkali lebih bijak jika Musdah melalukan interpretasi kemungkinan illat iddah tiga kali suci itu dapat diatasi dengan kemampuan teknologi yang dapat mengetahui secara dini kehamilan seorang perempuan.
Selama ovarium dan rahim (kandungan) itu ada pada wanita dan spermatozoa itu pada laki-laki maka adalah suatu hal yang mengada-ada dan tidak mendasar secara hukum bila menginginkan pemberlakukan iddah bagi laki-laki. Nampaknya, gagasan Amina Wadud tentang wanita menjadi khatib dan imam shalat jumat masih lebih rasional dibandingkan gagasan iddah Musdah bagi laki-laki. Argumennya, adalah bahwa dalil tentang imam shalat dan khatib itu hanya diatur dalam hadis, tidak di dalam al-Quran seperti dalil iddah. Secara hirarki hokum kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran.   Bagi peneliti Secara prinsip, interpretasi atau reaktualisasi bagi khatib dan imam shalat bagi perempuan masih lebih terbuka dibandingkan persoalan iddah bagi laki-laki.

Pandangan bias gender kitab suci khususnya al-Quran Nasaruddin dan Musdah tidak cukup mendasar. Ungkapan al-Quran yang secara tekstual memperlihatkan bias gender menurut peniliti tidak secara kontekstual.  Di bawah ini ada beberapa pendapat tentang pandangan al-Quran terhadap perempuan yang menunjukkan kesetaraannya.
Pertama, Mufassir Indonesia Quraish Shihab berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki setara Quraish menulis kedudukan perempuan dalam Islam pada bukunya Membumikan al-Quran mengemukakan bahwa prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan.[10] Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan. Quraish Mengutip ayat al-Quran (QS 49: 13);
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebang-saan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan."
Quraish mengutip beberapa pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."[11]
Menurut Quraish dosen Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Quraish mengelaborasi pandangannya menyangkut perempuan runtut dalam segi asal kejadiannya, dan hak-haknya dalam berbagai bidang sebagai berikut;  “Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Menurut Quraish Jawabannya berpengaruh bagi masyarakat hingga abad modern sekarang ini. Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Quraish mengatakan bahwa benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
 Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Menurut Quraish,  kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaan-nya. Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:
Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia enyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguh-nya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad saw:
Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat-termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu.
Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay196 --istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197 Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik "permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki."
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.199
Banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim dan Muslimah.
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201 Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Rasulullah SAW selalu memuliakan wanita.[12] beberapa sabdanya: Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwa-ssalam bersabda:

Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim,Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam lafazh lain:
Sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan dan tidak ada di antara perhiasan dunia yang lebih baik daripada wanita yang sholihah.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam lafazh lain:
Sesungguhnya dunia ini seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah.” (HR. Ahmad)

Jika diamati dengan diteliti perempuan dalam al-Quran dalam ruang domestik mempunyai posisi sebagai anak, sebagai istri dan sebagai ibu. Sebagai anak, perempuan mempunyai hak untuk hidup dan mendapat penghormatan jiwanya, mendapat pendidikan yang bagus sebab anak perempuan, sebagaimana juga anak laki-laki, adalah bagian integral dari rencana Allah dan ia merupakan anugerah Allah yang harus dipelihara supaya menjadi ''perhiasan'' bagi orang tuanya. Sebaliknya mereka berkewajiban untuk memperlakukan orang tua dengan penuh kelembutan dan kasih sayang serta bersikap hormat kepada keduanya tanpa dibatasi oleh perbedaan apapun termasuk perbedaan teologis. Dengan demikian ia harus menempatkan orang tua semulia mungkin di hadapan Allah, dan yang juga penting adalah menahan rasa jengkel dan rasa tidak senang. Ia harus tetap sebagai ''perhaisan'' bagi mereka berdua.[13]

Seorang wanita mempublish keprihatinan terhadap nasib perempuan dalam relasinya dengan liberalisasi perempuan. Ia menulis judul artikelnya dengan judul: “Liberalisasi Perempuan akan Memajukan Perempuan? Didalam tulisannya ia mengungkapkan plus minus liberalisasi antara lain tulisannya;

Liberalisasi  atau kebebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan. Karena tatkala kaum perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus berkesempatan secara ekspresif mengejar 'ketertinggalan' tanpa harus khawatir dengan pembatasan-pembatasan kultural dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka menurut kalangan feminis. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral bagi perjuangan mereka. Sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka menjadikan 'kemajuan' perempuan Barat sebagai model.
Diakui memang, bahwa di belahan dunia manapun, liberalisasi perempuan telah membawa banyak perubahan; Kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah prosentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000, demikian juga di Indonesia. Meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding laki-laki dan meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negeri-negeri tersebut, dianggap sebagai ‘prestasi’ atas keberhasilan perjuangan pembebasan perempuan di manapun.
Persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, cinderella complex, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari isu ‘kebebasan perempuan’. Wajar jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang ‘masih sadar’ atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran manis feminisme ini, sehingga mereka balik menuduh feminisme sebagai gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di Amerika sendiri, gerakan anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan Kanan Baru (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League, dan lain-lain.
Hasil penelitian tahun 1999, yang dilakukan selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekadar mitos itu. Karena itulah, mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah mengkhianati mereka.[14]
Di samping Danielle, masih banyak ilmuwan dan antropolog Barat yang juga mengecam gagasan feminisme seperti ini. Mereka menggugat ‘keabsahan’ dan keilmiahan pemikiran feministik sekaligus mempertanyakan kelayakan teori-teorinya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sayangnya, semangat penolakan terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan dengan janji-janji manis yang ditawar-kannya.
Dengan mencermati fakta-fakta tersebut, jelas bahwa liberalisasi perempuan hanyalah jargon kosong yang tak layak diemban, apalagi diperjuangkan. Karena itu, untuk memajukan kaum perempuan, bahkan umat secara keseluruhan, kuncinya adalah dengan meningkatkan taraf berpikir mereka dengan ideologi Islam. Dengan cara ini, mereka akan memiliki landasan pemikiran (qâ'idah fikriyah) yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk pemikiran dan menjadi dasar terbentuknya pemikiran-pemikiran yang lain yang dapat memecahkan problem kehidupan, sekaligus merupakan tuntunan berpikir (qiyâdah fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problem kehidupan tersebut setiap saat dengan pemecahan yang benar. Ini karena ideologi Islam tegak di atas keyakinan bahwa seluruh alam ini, termasuk manusia di dalamnya, diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yaitu Allah Swt., Karena itu, aturan-aturan yang disampaikan Allah Swt. melalui Rasul-Nya (syariat Islam) dipastikan akan menjadi pemecah bagi seluruh persoalan manusia secara sempurna dan menyeluruh.[15]  Dengan begitu, umat akan mampu bangkit menjadi pionir peradaban sebagaimana yang telah terbukti pada masa lalu tatkala Islam dijadikan sebagai landasan kehidupan umat dan syariatnya diterapkan.



C.     Praktek Poligami:  Feminisme ala Mariam Jameelah
Menurut Maryam Jameelah; “Penyebab timbulnya image negatif terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah kaum Muslimin yang tidak komitmen dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat Muslim lebih disebabkan karena kaum laki-laki Muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dan patriarkinya.”
Inilah kritikan seorang Muslimah dari keluarga Yahudi Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang shalih dan taat kepada tanggung jawab agamanya.
“Islam menjawab dan menjelaskan segala-galanya. Dalam Islam kutemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bukan saja membawa dan memandu seseorang menjalani kehidupan di dunia ini tetapi juga kehidupan selepas kematian nanti.” tegas Maryam dalam pernyataannya di The Islamic Bulletin, San Francisco, California, Amerika Serikat.[16]
Menurut Maryam, persepsi pertamanya ketika membaca Al-Qur’an, Islam adalah satu-satunya agama kebenaran, kejujuran, keikhlasan dan tidak membenarkan kompromi murahan atau hipokrasi.
Setelah Maryam Jameelah memeluk Islam, secara otomatis mengalami suatu transformasi total yang dia istilahkan dengan transformation from a kafir mind into a muslim mind (transformasi dari pikiran kafir ke pikiran muslim). Maryam melihat bahwa perubahan pola pikir yang mempengaruhi perilaku, tutur kata seseorang dalam kehidupan sehari-hari mesti terjadi apabila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan yang mendasar antara pemikiran yang keluar dari kepala seorang muslim dan yang keluar dari kepala seorang kafir.
Keyakinan yang paling esensial dalam Islam, menurut Maryam adalah konsep man as the slave of God (manusia sebagai hamba Tuhan). Konsep ini sejalan dengan makna terminologi Islam itu sendiri, yakni submission to the will of Allah (penyerahan diri kepada kehendak Allah) dan siapa saja yang memilih melakukan itu bisa dikatakan muslim. Menerima ini, bagi Maryam, konsekuensinya sangat luas dan mendalam. Manusia dengan demikian tidak memiliki hak untuk membuat aturan hukum sendiri, mempolarisasikan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Segala sesuatu harus tunduk kepada kehendak Tuhan yang telah diartikulasikan dalam wahyu lewat para nabi dan rasul.
Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks Al-Qur’an dengan keimanan yang dalam. Pemikiran Barat pun mendapat pukulan balik darinya.
Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional, New York City.
“Seandainya ada pertanyaan kepadaku bagaimana mengetahui perihal Islam? Aku hanya mampu menjawab, pengalaman pribadikulah yang mengantarkan pada keyakinanku. Keteguhanku akan aqidah Islam datang secara perlahan dan tenang namun penuh keyakinan.”
Lewat bacaannya terhadap literatur sejarah bangsa Arab, dia menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, tapi justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Pemikiran Maryam dipengaruhi oleh Abul A’la Al-Maududi. Beliau telah membimbing Maryam memahami Islam lewat korespondensi sejak Desember 1960 sebelum dia masuk Islam hingga Mei 1962 dan akhirnya hijrah ke Pakistan.
Maryam Jameelah tidak pernah kendur menghadapi para penghujat Islam. Sikap kritisnya terhadap paham sekularisme dan materialisme dari dulu hingga kini demikian gigihnya. Itu ditunjukkan dengan usaha yang tidak mengenal penat dan lelah terhadap cita-cita luhur dan agung ini. Tokoh mujahidah ini mengangkat Islam sebagai satu jawaban paling tepat dan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat memberi petunjuk, tujuan serta nilai pada persoalan hidup dan mati.
Sampai hari ini tudingan miring itu masih nyaring terdengar, ungkapan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang hampir semuanya memiliki lebih dari satu istri dianggap kriminal dalam perundang-undangan modern. Hukum Islam yang membenarkan menerima perceraian juga dikecam dengan keras, seperti halnya poligami. Izin yang diberikan syariat kepada laki-laki untuk menceraikan istrinya secara diam-diam ditetapkan sebagai bukti inferioritas status perempuan dalam hukum Islam.
Hijab atau pemisahan yang ketat antara dua jenis kelamin mendapatkan hantaman yang tidak kurang beratnya dari para modernis kita yang terdidik yang menuntut penghapusan hijab. Dalam peradaban modern, seorang perempuan hanya dihargai sebatas kemampuan mereka berhasil menjalankan fungsi laki-laki, dan pada saat yang sama memperlihatkan kecantikan dan keanggunannya secara maksimal kepada publik. Walhasil, peran kedua jenis dalam masyarakat modern sangat membingungkan. Ajaran Islam tidak bisa mentolerir nilai budaya yang menyeleweng seperti itu. Dalam Islam, peran wanita bukan sebagai ballot-box, melainkan pemelihara rumah dan keluarga. Hal ini dipaparkan Maryam Jameelah dalam bukunya, Islam and the Muslim Woman Today.
Mirisnya lagi desain penghujatan Islam ini berimbas juga di kalangan para muslimah. Padahal jauh sebelum Maryam Jameelah memeluk Islam, dia sudah membahas dan melakukan pembelaan akan kebenaran Islam dan syariatnya. Hal ini diungkapkan Maryam dalam korespondensinya kepada Abul A’la Al-Maududi.
”Ambillah contoh masalah poligami. Orang-orang Islam seperti Dr. Hoballah, pemimpin Islamic Centre di Washington, mengatakan kepada saya bahwa Islam hanya memperkenankan poligami dalam sedikit peristiwa-peristiwa pengecualian tertentu. Golongan modernis malahan telah lebih jauh menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap lebih dari satu istri, betapapun kamu menginginkannya”, sebagai larangan mutlak terhadap poligami. Berikut ini, pandangan apologetik serupa dikutip dari tafsir Muhammad Ali Lahori dalam terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris (hal. 187-188).
“Surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami hanya dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, akan jelaslah bahwa izin untuk mempunyai istri lebih dari satu itu diberikan untuk keadaan khas umat Islam yang ada pada saat itu. Dapat ditambahkan di sini bahwa poligami dalam Islam, teori maupun praktek, adalah suatu perkecualian, bukan aturan.”
”Dalih yang paling kuat untuk menentang cara berpikir yang sesat seperti itu adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun ulama tafsir Al-Qur’an yang dikenal nama baiknya sepanjang sejarah Islam pernah menafsirkan ayat tersebut seperti demikian, hingga dunia Islam jatuh ke dalam kekuasaan imperialis Eropa. Aku tidak bisa menemukan pernyataan dalam kepustakaan Al-Qur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa poligami dikutuk sebagai suatu kejahatan, tidak pula suatu masalah pernah timbul mengenai perlunya untuk membatasinya hanya bagi keadaan-keadaan pengecualian tertentu. Persisnya bunyi ayat yang menjadi pembicaraan adalah ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:129)”
”Dengan kata lain, karena tidak ada dua manusia yang sama, maka tentunya seorang suami tidak mungkin dapat memperlakukan istri-istrinya dengan rasa cinta-kasih yang sama. Tetapi ayat ini tidaklah melarang untuk melakukan poligami hanya karena ia tidak dapat mencintai mereka dengan kadar yang sama. Tidak! Al-Qur’an hanyalah memerintahkan untuk berlaku baik serta mempergauli mereka dengan seadil-adilnya…” demikian pembelaannya tentang poligami.
Prinsip-prinsip yang mendasari semua pemikiran Maryam dalam melihat teks-teks agama adalah prinsip penyerahan diri, sehingga dalam semua karyanya dia tidak pernah mengkritisi teks agama yang kelihatan bertentangan dengan mainstream peradaban sekarang yang jelas-jelas didominasi nilai-nilai Barat, seperti kepemimpinan laki-laki, praktek poligami dan pergaulan terbuka antara kedua jenis kelamin.
Dia justru mengkritisi ide-ide Barat atau Muslim modernis dengan argumentasi teks-teks agama. Tidak jarang dia mengkritisi kekerdilan mental seorang muslim untuk komitmen kepada ajaran agamanya. Dia tidak menerima kalau idealisme Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial, baik secara mikro maupun makro harus diotak-atik hanya karena orang-orang Barat mengatakan lain atau hanya karena masyarakat muslim tidak mampu menjalankannya. Dalam keadaan seperti itu, justru komitmen kepada pembentukan masyarakat muslim yang kaffah harus dikembangkan.
Gagasan Musdah dan Nasaruddin Umar tentang asas monogamy  dalam al-Quran adalah pengabaian bukti dan realitas yang dilakukan Nabi dan para sahabat. Maryam Jameela dalam hal ini berpendapat bahwa Poligami tidak pernah diharamkan oleh Allah. Ia dibolehkan oleh syariat seluruh nabi. Sebagian besar para nabi beristri lebih dari satu. Sebelum ayat ini diturunkan kepada Nabi saw., beliau telah beristri tiga (Saudah, Aisyah dan Ummu Salamah ra). Sebagian besar sahabat juga berpoligami. Jadi tidak diperlukan lagi pengesahan atas suatu praktek yang halal dan telah dikenal. Ayat tersebut di atas diturunkan ketika banyak wanita Madinah ditinggal mati suami mereka yang gugur di medan perang Uhud dan banyak pula anak-anak yang sudah tidak berbapak lagi. Dihadapkan pada masalah ini, orang Islam diarahkan untuk memecahkannya dengan memanfaatkan lembaga yang telah ada dan lazim, yakni dengan mengawini dua, tiga atau empat wanita di antara janda-janda tersebut.”
“Sebagai akibatnya, janda-janda dan anak-anak yatim tidak terlantar, melainkan terserap ke dalam berbagai keluarga. Kalaupun petunjuk Tuhan ini menyiratkan suatu pembentukan hukum baru, hal itu bukanlah pemberian izin berpoligami, melainkan merupakan pembatasan jumlah istri sampai empat dan penetapan syarat lebih jauh, yakni bila suami tidak bisa bertindak adil terhadap seluruh istrinya, maka ia harus mempergauli mereka dengan baik atau beristri satu saja. Dua buah perintah di atas tidak pernah diketahui dan dikenal oleh orang Arab penyembah berhala, dan Bible yang sekarang pun tidak menyebutkannya.” Abul A’la Al-Maududi membenar-kan semua deskripsi Maryam tentang ayat Allah yang satu ini.
“Cara berpikir dan berbuat seseorang, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran ‘cognitisi’nya. Masalah yang paling serius dalam semua ajaran agama adalah bagaimana mendekatkan antara teori dan praktek, bagaimana menyelaraskan antara ajaran dan pelaksanaan. Di samping itu, ada masalah yang tidak kalah peliknya, bagaimana memahami kerangka teori yang ada, sehingga memudahkan praktek, tanpa meninggalkan esensi ajaran.” Maryam Jameelah memaparkan dalam bukunya, Islam in Theory and Practice
Maryam berpandangan bahwa ciri utama ideologi-ideologi modern adalah anggapan bahwa prinsip ‘perubahan untuk perubahan’ merupakan nilai yang tertinggi. Segala komitmen pada suatu nilai dasar yang absolut adalah sikap zaman pertengahan yang harus ditinggalkan. Manusia harus menemukan nilai-nilai yang cocok untuk situasi mereka yang berubah setiap saat. Ini, menurut Maryam, yang mengantarkan dunia modern kepada kekacauan.
Maryam mengkritisi interpretasi apologetik para modernis yang tidak memiliki dasar apapun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Sunnah, tapi semuanya hanya merupakan hasil perbudakan mental terhadap nilai-nilai peradaban Barat. Individualisme ekstrim Barat yang mendominasi masyarakat modern telah sampai pada tingkat menganggap poligami jauh lebih buruk daripada perzinahan.
Ini sejalan dengan tokoh Barat yang mengatakan bahwa subyek modern bercirikan kemampuan menerima dan ‘merayakan’ kealpaan keamanan dan karak-teristik keteraturan eksistensi sosial kontemporer sekarang. Barat menempatkan feminisme dalam kerangka mordenisme seperti ini. Barat mengajak kaum perempuan menolak tradisi dalam bentuk peranan ibu rumah tangga yang mengikat mereka kepada dunia domestik.
Maryam tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Ini sangat berbeda dari orang lain yang berbicara tentang gender dalam Islam.
Hampir semuanya berangkat dari tuntutan keadilan untuk memenuhi tuntutan keadilan yang didasarkan pada ide-ide Barat sebab mereka menyangsikan keadilan yang ada dalam formulasi Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Keadilan bagi mereka adalah persamaan, bukan kerjasama atau dalam redaksi lain, mereka tidak melihat kemungkinan adanya kerjasama kecuali dalam persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Maryam menuliskan bahwa:
Dari sudut pandang Islam, mempertanyakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah seperti mendiskusikan kesetaraan antara bunga mawar dan yasmin. Masing-masing memiliki aroma, warna, bentuk dan keindahan. Laki-laki dan wanita tidak sama. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik tersendiri. Laki-laki memiliki keistimewaan seperti kewenangan sosial dan gerak sebab dia harus menjalankan banyak tugas berat.
Pertama, dia memikul tanggung jawab ekonomi. Kedua, wanita tidak harus mencari suami sendiri. Di rumah, perempuan berkuasa seperti ratu dan laki-laki Muslim layaknya seperti tamu di rumah sang istri. Ketiga, perempuan Muslim dibebaskan dari tanggung jawab politik dan militer. Dengan demikian, syariat menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Maryam Jameelah tidak pernah mempermasalahkan konsep-konsep gender dalam Al-Qur`an maupun hadits. Tampaknya, bagi dia, masalahnya terletak pada ada atau tidaknya komitmen Muslim terhadap konsep-konsep tersebut. Gugatan kaum modernis Muslim terhadap konsep-konsep gender Al-Qur`an hanya merupakan sikap mendua (ambivalence) atau anti terhadap ajaran Islam. Sehingga dia lebih banyak mengkritisi dan membandingkan konsekuensi praktis antara pandangan Islam dan liberal Barat terhadap stabilitas sosial.
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB VI
PENUTUP
 
A.    Kesimpulan
1.      Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia adalah tokoh Feminis Indonesia yang gigih memperjuangkan kesetaraan jender. Keduanya konsen pada kesetaraan gender di Indonesia. Gagasan Utama keduanya berasal dari interpretasi ayat-ayat al-Quran dimana keduanya sepakat bahwa ajaran dasar al-Quran tentang perkawinan adalah monogami. Perbedaannya adalah Musdah Mulia lebih liberal bahkan Radikal dibanding Nasaruddin Umar dalam beberapa gagasan pembelaan terhadap Homoseksual dan lesbian, perkawinan antar agama, iddah. 
2.      Gagasan Nasaruddin tentang gender memasukkan dirinya termasuk penafsir feminis Indonesia. Beberapa gagasannya Nasaruddin menunjukkan corak yag moderat. Berbeda dengan Musdah Mulia yang radikal maka Nasaruddin Umar termasukk dalam typology feminisme moderat.  Musdah Mulia banyak menggugat ajaran dasar yang telah mapan ditengah masyarakat. Corak gagasan Musda Mulia termasuk feminism Radikal. Gerakan feminisme radikal secara terang-terangan melabrak keyakinan yang telah mapan.- ,Yang dihantam justru sendi-sendi fundamental ajaran Islam. Musdah Mulia juga membenarkan Homoseksual dan lesbian. Sementara Nasaruddin Umar tidak pernah melabrak hal-hal yang telah mapan ditengah masyarakat Islam pada umumnya.
3.      Al-Quran tidak dapat dipahami sebagai bias jender atau tidak adil jender. Ungkapan  secara tekstual Nampak tidak adil, adalah perbedaan yang didasari atas perbedaan kodrati. Perbedaan itu tidak mengartikan bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan. Al-Quran justru telah melakukan dekonstruksi dan revolusi terhadap konstruksi sosio cultural masyarakat Arab, seperti Perbudakan, lembaga waris, lembaga nikah, sikap ketidak adilan, otoritas. Karenanya Al-Quran dapat dikatakan kitab yang feminis.
4.      Nilai-nilai Ajaran al-Quran yang berkaitan dengan perempuan adalah ajaran dasar yang final, karena itulah keadilan dalam perspektif al-Quran. Gagasan Nasaruddin Umar dan Musdah Mulia tentang ajaran dasar al-Quran adalah Monogami adalah bentuk upaya interpretasi terhadap ayat-ayat al-Quran yang dianggap bias gender, tidak dapat diartikan bahwa ajaran itu tidak relevan lagi dengan zaman. Ajaran dasar al-Quran adalah tengah atau wasatha (moderat) yang menentang semua ajaran yang radikal, ekstrem, absolusitas dan kristalisasi faham. Penelitian ini tidak berpretensi melakukan klaim kebenaran faham, melainkan berusaha menganalisis gagasan keduanya untuk kemudian meletakkan ajaran al-Quran sebagaimana mestinya.
 
B.     Rekomendasi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam studi relasi Al-Quran dan perempuan. Kesimpulan hasil penelitian ini tentunya bukan hal yang final. Karena itu kesimpulan penelitian ini mestinya  menjadi hipotesis untuk penelitian-penelitian yang bertema sama dengan penelitian ini.
 
 
   
KEPUSTAKAAN

Anisia Kumala Masyhadi, Qasim Amien; Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern. makalah
Arif ZamhariMenuju Fikih Emansipatoris, Copyright ©2001-2008 Jaringan Islam Liberal, All rights reserved.

Asrudin, Feminisme & Relevansinya bagi Studi Hubungan Internasional, November 1, 2007, Verdinand

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah press, 2008) cet. Ke-4, hal. 156
Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985
F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah Pendapat-pendapat Modern tentang Sejarah, terj. Dik Handoko, Jakarta: Gramedia, 1987.
Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Henri Salahuddin, Di Balik Politik Kesetaraan, Catatan Awal Tahun 

Henri Shalahuddin, Feminisme dan Teori Kemarahan khabarislam. Word-press.com.

HR Ahmad no. 2596 dalam bab Awal Musnad Abdullah bin Abbas 
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Ilham Q. Moehiddin,  Islam dan Subhat Paham Gender,  Friday, 04 September 2009 Artikel
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
John B Williamson, dkk, The Research Craft an Introduction to Social Science, Boston, Little, Brow and Company, 1977
Kuni Khairunnisa, Perspektif Jender Dalam Islam; Islam Backing Feminisme?
11 Juni 2001
Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung; Mizan, 1996), h. 77
Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar, 1959, h. 193
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Fakih, 1996)
Mosse, Julia Cleves, Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
Musdah Mulia, Tauhid dan Risalah Kesetaraan Gender, makalah; http://www.fahmina.or.id /pbl /dfp_indo/Siti_ _m_tauhid.pdf
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Quran, Paramadina, Jakarta Cetakan Kedua, 2001, h.7, link; http://groups.yahoo.com/group/ wanita-muslimah/message /29024
Nasaruddin Umar, Kualitas Maskulin-Feminin Dalam Sifat-Sifat Tuhan, artikel Republika Newsroom Rabu, 04 Februari 2009 pukul dipublish di http://republika.co.id:-8080/berita/29674/-Kualitas_Maskulin_Feminin_dalam_Sifat_sifat_Tuhan
Nasaruddin Umar, Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an; link http:// kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/643
Nasaruddin Umar:Persepsi Arab Bukan Persepsi Islam (Wawancara Majalah TEMPO, 7 Januari 2008);  http://tech.groups.yahoo.com/group/fismaba2004/message/2443

Nasarudin Umar, Semua Kitab Suci Bias Gender! Indonesia Kita, 2007

Noeng Muhadjir, Metode Penelitian KualitatifEdisi III, Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000.
Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
-----------, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Sahiron Syamsuddin, Penelitian Literatur Tafsir; The New Encyclopedia of Britannica, (Chicago : Encyclopedia Brittanica Inc., 15th edition)
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Insan Madani, 2007)
Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender, (Yogyakarta, CarasvatiBooks, 2007), hal. 116-117.

Wikipedia, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,  Feminisme, 

Yunahar Ilyas, Feminisme; dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1997), h. 42.
Zubaedah Johar, Gender Mainstreaming, Sebuah Strategi, Aceh Institut.2005




[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Fakih, 1996), h. 11-20.
[2] Yunahar Ilyas, Feminisme; dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1997), h. 42.
[3] Luhulima, 2000
[5] Ajaran Teks (ausdruck) sudah tentu mempunyai pengaruh dalam pengalaman kontemporer (erlebnis) tetapi pada saat bersamaan pengalaman kontemporer memberi arti dan penafsiran baru terhadap teks (verstehen) Lihat F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah Pendapat-pendapat Modern tentang Sejaran, terj. Dik Handoko (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 156-164.
[6] Lihat Sahiron Syamsuddin, Penelitian Literatur Tafsir
[10]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
[11] Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar, 1959, h. 193 dikutip dari Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
[12] http://aghita.wordpress.com/2008/07/18/al-quran-wanitakarena-wanita-itu-begitu-istimewa/
[13] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1729702-spencitraan-perempuan-di-dalam-al/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pencitraan Islam di mata global